Home » » Anak, Pekerjaan, dan Pengasuhan

Anak, Pekerjaan, dan Pengasuhan

Apakah Anda mencintai anak Anda? Tentu saja! Tidak diragukan lagi setiap orang tua secara fitrah akan mencintai anaknya. Andai perasaan seperti ini tidak ada maka manusia tidak akan ada di dunia ini. orang tua tidak akan sabar memelihara anak-anak mereka, tidak peduli terhadap kebutuhan hidup mereka, cuek saja saat anak sakit. Bahkan kecintaan orang tua begitu besarnya sampai tak pernah terpikir untuk meminta imbalan atau ganti rugi pada anaknya.

Apalagi bagi pasangan yang sudah lama mengharapkan kehadiran buah hati, anak adalah harta yang tak ternilai, jauh lebih berharga dari emas, rumah, tanah, atau mobil. Mereka melakukan berbagai macam cara dari yang realistis sampai mistis. Ada yang menempuh jalan sesuai syariat ada juga yang malah terjerumus pada kemusyrikan. Sungguh luar biasa arti seorang anak, anak yang lahir dari darah daging sendiri.

Lalu ketika sang buah hati lahir apa yang dilakukan orang tua? Pastilah mereka akan merawat dengan sebaik-baiknya, memberikan susu terbaik, membelikan pakaian yang lucu-lucu, mainan berlimpah, hingga mendesain kamar khusus bagi anak. Saat orang tua melihat anaknya tumbuh sehat, gemuk, lincah, berjalan tertatih, belajar bicara, dan bisa menghitung satu –dua-tiga betapa bahagianya. Seolah celotehan balita yang tidak jelas bicaranya lebih merdu dari suara penyanyi terbaik manapun.

Namun sayangnya banyak orangtua yang ‘menelantarkan’ anaknya dalam hal pendidikan dan kasih sayang. Pendidikan dipandang cukup oleh orang tua jika sudah bisa memasukkan anaknya ke TK mahal, SD prestisius, SMP favorit sampai universitas terkenal. Tidak ada yang lebih baik daripada menempatkan anaknya diantara anak-anak pintar dan sekolah terbaik. Salahkah? Tentu tidak, sekolah yang baik tentu sedikit banyak akan membawa pengaruh dalam kehidupannya.

Tapi sebenarnya sekolah pertama dan utama adalah keluarganya, namun disinilah anak tidak mendapat pendidikan yang semestinya. Sekarang ini jamak kita lihat para ibu keluar rumah untuk bekerja, memberikan pengasuhan anak pada sang nenek, baby sitter, atau pembantu. Bahkan kalau dihitung-hitung gaji tiap bulan bila dibayarkan pada baby sitter dan pembantu ternyata hampir impas.

Meski dianggap kuno, secara kodrat ayahlah yang bertugas mencari nafkah. Itu karena para ayah diberikan kelebihan fisik yang kuat, pemikiran yang stabil, tidak mudah terpengaruh emosi, dan bila pulang malam lebih bisa menjaga dirinya (kebayang kan bila wanita pulang larut malam? Jalanan adalah tempat kejahatan). Selain itu ayah cenderung bersifat keras, kurang sabar, dan kasar sangat tidak cocok dalam mengasuh anak-anak. Apalagi anak-anak selalu punya tingkah ‘ajaib’ yang menurut orang tua seringkali tidak masuk akal.

Lalu kalau keadaan ekonomi kurang apakah istri tidak boleh bekerja? Bekerjanya istri harus mendapat ijin suami, dalam syariat islam seorang istri hanya bertugas melayani suami dan mengasuh anak-anaknya. Bahkan jika mampu suami harus mencarikan orang untuk membantu urusan rumah tangga  agar istri lebih fokus mengasuh anak. Kalau seandainya mengalami kekurangan dalam penghasilan lebih utama istri bekerja di rumah, sesuai dengan keterampilannya. Sehingga anak tetap ada dalam pengawasan, karena semua yang terjadi pada anak-anak akan menjadi landasan kehidupannya kelak dewasa.

Kalau tidak punya keterampilan? Tidak mungkin! Allah pasti memberikan kelebihan pada setiap hambaNya. Ada yang pintar masak, menulis, membuat kerajinan, menyulam, merajut, membuat kripik, merias, dan berbagai keterampilan lain. Kalau merasa tidak punya juga coba lihat pendidikan Anda, bagi sarjana psikologi  bisa membuka klinik konsultasi di rumah, bagi yang SMA nilai matematikanya bagus bisa memberi les pada anak SD (secara matematika SD kan belum seruwet matematika SMA hehe), kalau yang prestasi akademik dan keterampilan pas-pasan masih cara lain. Misalnya jadi makelar barang-barang, jadi reseller baju, sepatu, buku, lalu promosi ke komunitas arisan, ibu-ibu tetangga, milis, facebook, twitter, pokoknya banyak cara untuk menambah penghasilan tanpa perlu bekerja di kantor, toko, bank, yang pasti menyita waktu yang amat berharga bagi perkembangan anak.

Kalau dipikir-pikir sebenarnya Allah tidak akan lupa memberi rejeki pada hambaNya, tinggal kita mau bersyukur atau tidak. Bila seorang istri tidak bekerja Allah akan memberikan rejeki itu lewat suaminya. Misalnya suami jadi sering dapat bonus, suami naik jabatan, suami dapat pekerjaan yang lebih baik, atau dagangan suami jadi tambah laris, bisnis maju, karier melesat. Terus karena istri fokus dirumah melayani suami maka suami merasa tenang dan bahagia berdekatan dengan istri, nah pada saat itu biasanya suami jadi loyal, apa yang diminta istri diberikan (asal mintanya nggak keterlaluan ya). Enak kan nggak kerja tapi tetep dapat uang buat beli baju, jajan, sepatu, tas, dll hehe...

Banyak teman saya yang mengeluh betapa repot dan capeknya saat mengasuh anak terutama balita. Mereka lebih nyaman bekerja karena merasa lebih eksis, percaya diri, dan bisa melepaskan kepenatan di rumah. Memang tantangan utama menjadi ibu rumah tangga adalah lelah dan bosan. Bagaimana tidak bosan bila dari membuka mata sampai menutup mata yang dikerjakan sama, bahkan tengah malam harus siap-siap bangun bila anak rewel. Berbeda bila bekerja, bisa bertemu orang-orang, bercanda, makan siang bersama rekan, perjalanan dinas, bahkan rasanya pekerjaan seberat apapun di kantor lebih baik daripada seharian mendekam di rumah bersama anak.

Padahal saat hamil mereka terlihat sangat bahagia, berbagai status berbunga-bunga di jejaring sosial seolah ingin berkata pada dunia “Woi, sebentar lagi gue akan punya bayi!”. Tak sabar menunggu jadwal kunjungan dokter untuk mengintip si dedek yang sedang tumbuh di rahim. Namun ketika anak yang ditunggu-tunggu lahir, tiba-tiba mereka merasa kelelahan, kerepotan, kebosanan, hingga akhirnya bersyukur bisa kembali bekerja.

Saya yakin tidak semua ibu demikian, tapi yang perlu disadari bahwa pengalaman pernah bekerja secara tidak sadar menjadi pembanding dalam mengasuh anak. Sehingga para ibu menjadi tidak sabar dan telaten. Saya pun mengalaminya, saat menjalani kehidupan sebagai ibu rumah tangga maka hal yang paling membuat saya tertekan adalah lelah, bosan, dan merasa tidak berguna. Seolah menjadi ibu rumah tangga sangat tidak ada harganya, apalagi bila melihat teman yang kerja di kantor-kantor berpakaian rapi, cantik, dan modis. Sangat berbeda dengan saya yang sering memakai pakaian rumahan, itupun baunya sudah tidak karu-karuan campur baur antara bumbu masakan, keringat, dan ompolnya Raihan. Rambutpun lebih banyak berantakan karena sering jadi ajang mainan anak saya yang luar biasa kelakuannya.

Tapi saya tidak mau lama-lama hanyut dalam perasaan yang membuat saya semakin jatuh. Ketika menikah maka saya sudah siap untuk total di rumah, apalagi ada hadist yang mengatakan bila istri meninggal dan suami ridha kepadanya maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga. Kemudian saya mencoba menikmati peran saya, mengisi waktu disela-sela pekerjaan rumah tangga dan mengasuh Raihan dengan melakukan hobi contohnya menulis di blog seperti ini. Selain itu saya juga suka membuat kue-kue, saya yakin suatu saat kemampuan ini akan berguna dan insya Allah dicatat sebagai amal kebaikan.

Sepertinya tulisan ini sudah terlalu panjang, meski tidak pas lebih baik dipotong di sini saja. Insya Allah dilanjutkan lagi. Apalagi ini adalah kesempatan berharga untuk tidur, karena Raihan pun sedang tidur, lumayanlah merebahkan badan barang setengah jam, sebelum dia bangun dan menguasai laptop untuk main game dan nonton upin ipin. 

Salam hangat.

Apakah Anda mencintai anak Anda? Tentu saja! Tidak diragukan lagi setiap orang tua secara fitrah akan mencintai anaknya. Andai perasaan seperti ini tidak ada maka manusia tidak akan ada di dunia ini. orang tua tidak akan sabar memelihara anak-anak mereka, tidak peduli terhadap kebutuhan hidup mereka, cuek saja saat anak sakit. Bahkan kecintaan orang tua begitu besarnya sampai tak pernah terpikir untuk meminta imbalan atau ganti rugi pada anaknya.
Apalagi bagi pasangan yang sudah lama mengharapkan kehadiran buah hati, anak adalah harta yang tak ternilai, jauh lebih berharga dari emas, rumah, tanah, atau mobil. Mereka melakukan berbagai macam cara dari yang realistis sampai mistis. Ada yang menempuh jalan sesuai syariat ada juga yang malah terjerumus pada kemusyrikan. Sungguh luar biasa arti seorang anak, anak yang lahir dari darah daging sendiri.
Lalu ketika sang buah hati lahir apa yang dilakukan orang tua? Pastilah mereka akan merawat dengan sebaik-baiknya, memberikan susu terbaik, membelikan pakaian yang lucu-lucu, mainan berlimpah, hingga mendesain kamar khusus bagi anak. Saat orang tua melihat anaknya tumbuh sehat, gemuk, lincah, berjalan tertatih, belajar bicara, dan bisa menghitung satu –dua-tiga betapa bahagianya. Seolah celotehan balita yang tidak jelas bicaranya lebih merdu dari suara penyanyi terbaik manapun.
Namun sayangnya banyak orangtua yang ‘menelantarkan’ anaknya dalam hal pendidikan dan kasih sayang. Pendidikan dipandang cukup oleh orang tua jika sudah bisa memasukkan anaknya ke TK mahal, SD prestisius, SMP favorit sampai universitas terkenal. Tidak ada yang lebih baik daripada menempatkan anaknya diantara anak-anak pintar dan sekolah terbaik. Salahkah? Tentu tidak, sekolah yang baik tentu sedikit banyak akan membawa pengaruh dalam kehidupannya.
Tapi sebenarnya sekolah pertama dan utama adalah keluarganya, namun disinilah anak tidak mendapat pendidikan yang semestinya. Sekarang ini jamak kita lihat para ibu keluar rumah untuk bekerja, memberikan pengasuhan anak pada sang nenek, baby sitter, atau pembantu. Bahkan kalau dihitung-hitung gaji tiap bulan bila dibayarkan pada baby sitter dan pembantu ternyata hampir impas.
Meski dianggap kuno, secara kodrat ayahlah yang bertugas mencari nafkah. Itu karena para ayah diberikan kelebihan fisik yang kuat, pemikiran yang stabil, tidak mudah terpengaruh emosi, dan bila pulang malam lebih bisa menjaga dirinya (kebayang kan bila wanita pulang larut malam? Jalanan adalah tempat kejahatan). Selain itu ayah cenderung bersifat keras, kurang sabar, dan kasar sangat tidak cocok dalam mengasuh anak-anak. Apalagi anak-anak selalu punya tingkah ‘ajaib’ yang menurut orang tua seringkali tidak masuk akal.
Lalu kalau keadaan ekonomi kurang apakah istri tidak boleh bekerja? Bekerjanya istri harus mendapat ijin suami, dalam syariat islam seorang istri hanya bertugas melayani suami dan mengasuh anak-anaknya. Bahkan jika mampu suami harus mencarikan orang untuk membantu urusan rumah tangga  agar istri lebih fokus mengasuh anak. Kalau seandainya mengalami kekurangan dalam penghasilan lebih utama istri bekerja di rumah, sesuai dengan keterampilannya. Sehingga anak tetap ada dalam pengawasan, karena semua yang terjadi pada anak-anak akan menjadi landasan kehidupannya kelak dewasa.
Kalau tidak punya keterampilan? Tidak mungkin! Allah pasti memberikan kelebihan pada setiap hambaNya. Ada yang pintar masak, menulis, membuat kerajinan, menyulam, merajut, membuat kripik, merias, dan berbagai keterampilan lain. Kalau merasa tidak punya juga coba lihat pendidikan Anda, bagi sarjana psikologi  bisa membuka klinik konsultasi di rumah, bagi yang SMA nilai matematikanya bagus bisa memberi les pada anak SD (secara matematika SD kan belum seruwet matematika SMA hehe), kalau yang prestasi akademik dan keterampilan pas-pasan masih cara lain. Misalnya jadi makelar barang-barang, jadi reseller baju, sepatu, buku, lalu promosi ke komunitas arisan, ibu-ibu tetangga, milis, facebook, twitter, pokoknya banyak cara untuk menambah penghasilan tanpa perlu bekerja di kantor, toko, bank, yang pasti menyita waktu yang amat berharga bagi perkembangan anak.
Kalau dipikir-pikir sebenarnya Allah tidak akan lupa memberi rejeki pada hambaNya, tinggal kita mau bersyukur atau tidak. Bila seorang istri tidak bekerja Allah akan memberikan rejeki itu lewat suaminya. Misalnya suami jadi sering dapat bonus, suami naik jabatan, suami dapat pekerjaan yang lebih baik, atau dagangan suami jadi tambah laris, bisnis maju, karier melesat. Terus karena istri fokus dirumah melayani suami maka suami merasa tenang dan bahagia berdekatan dengan istri, nah pada saat itu biasanya suami jadi loyal, apa yang diminta istri diberikan (asal mintanya nggak keterlaluan ya). Enak kan nggak kerja tapi tetep dapat uang buat beli baju, jajan, sepatu, tas, dll hehe...
Banyak teman saya yang mengeluh betapa repot dan capeknya saat mengasuh anak terutama balita. Mereka lebih nyaman bekerja karena merasa lebih eksis, percaya diri, dan bisa melepaskan kepenatan di rumah. Memang tantangan utama menjadi ibu rumah tangga adalah lelah dan bosan. Bagaimana tidak bosan bila dari membuka mata sampai menutup mata yang dikerjakan sama, bahkan tengah malam harus siap-siap bangun bila anak rewel. Berbeda bila bekerja, bisa bertemu orang-orang, bercanda, makan siang bersama rekan, perjalanan dinas, bahkan rasanya pekerjaan seberat apapun di kantor lebih baik daripada seharian mendekam di rumah bersama anak.
Padahal saat hamil mereka terlihat sangat bahagia, berbagai status berbunga-bunga di jejaring sosial seolah ingin berkata pada dunia “Woi, sebentar lagi gue akan punya bayi!”. Tak sabar menunggu jadwal kunjungan dokter untuk mengintip si dedek yang sedang tumbuh di rahim. Namun ketika anak yang ditunggu-tunggu lahir, tiba-tiba mereka merasa kelelahan, kerepotan, kebosanan, hingga akhirnya bersyukur bisa kembali bekerja.
Saya yakin tidak semua ibu demikian, tapi yang perlu disadari bahwa pengalaman pernah bekerja secara tidak sadar menjadi pembanding dalam mengasuh anak. Sehingga para ibu menjadi tidak sabar dan telaten. Saya pun mengalaminya, saat menjalani kehidupan sebagai ibu rumah tangga maka hal yang paling membuat saya tertekan adalah lelah, bosan, dan merasa tidak berguna. Seolah menjadi ibu rumah tangga sangat tidak ada harganya, apalagi bila melihat teman yang kerja di kantor-kantor berpakaian rapi, cantik, dan modis. Sangat berbeda dengan saya yang sering memakai pakaian rumahan, itupun baunya sudah tidak karu-karuan campur baur antara bumbu masakan, keringat, dan ompolnya Raihan. Rambutpun lebih banyak berantakan karena sering jadi ajang mainan anak saya yang luar biasa kelakuannya.
Tapi saya tidak mau lama-lama hanyut dalam perasaan yang membuat saya semakin jatuh. Ketika menikah maka saya sudah siap untuk total di rumah, apalagi ada hadist yang mengatakan bila istri meninggal dan suami ridha kepadanya maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga. Kemudian saya mencoba menikmati peran saya, mengisi waktu disela-sela pekerjaan rumah tangga dan mengasuh Raihan dengan melakukan hobi contohnya menulis di blog seperti ini. Selain itu saya juga suka membuat kue-kue, saya yakin suatu saat kemampuan ini akan berguna dan insya Allah dicatat sebagai amal kebaikan.
Sepertinya tulisan ini sudah terlalu panjang, meski tidak pas lebih baik dipotong di sini saja. Insya Allah dilanjutkan lagi. Apalagi ini adalah kesempatan berharga untuk tidur, karena Raihan pun sedang tidur, lumayanlah merebahkan badan barang setengah jam, sebelum dia bangun dan menguasai laptop untuk main game dan nonton upin ipin.
Salam hangat.
- See more at: http://sayaummiraihan.blogspot.com/2013/01/anak-pekerjaan-dan-pengasuhan.html#sthash.CpfftQ2N.dpuf
Apakah Anda mencintai anak Anda? Tentu saja! Tidak diragukan lagi setiap orang tua secara fitrah akan mencintai anaknya. Andai perasaan seperti ini tidak ada maka manusia tidak akan ada di dunia ini. orang tua tidak akan sabar memelihara anak-anak mereka, tidak peduli terhadap kebutuhan hidup mereka, cuek saja saat anak sakit. Bahkan kecintaan orang tua begitu besarnya sampai tak pernah terpikir untuk meminta imbalan atau ganti rugi pada anaknya.
Apalagi bagi pasangan yang sudah lama mengharapkan kehadiran buah hati, anak adalah harta yang tak ternilai, jauh lebih berharga dari emas, rumah, tanah, atau mobil. Mereka melakukan berbagai macam cara dari yang realistis sampai mistis. Ada yang menempuh jalan sesuai syariat ada juga yang malah terjerumus pada kemusyrikan. Sungguh luar biasa arti seorang anak, anak yang lahir dari darah daging sendiri.
Lalu ketika sang buah hati lahir apa yang dilakukan orang tua? Pastilah mereka akan merawat dengan sebaik-baiknya, memberikan susu terbaik, membelikan pakaian yang lucu-lucu, mainan berlimpah, hingga mendesain kamar khusus bagi anak. Saat orang tua melihat anaknya tumbuh sehat, gemuk, lincah, berjalan tertatih, belajar bicara, dan bisa menghitung satu –dua-tiga betapa bahagianya. Seolah celotehan balita yang tidak jelas bicaranya lebih merdu dari suara penyanyi terbaik manapun.
Namun sayangnya banyak orangtua yang ‘menelantarkan’ anaknya dalam hal pendidikan dan kasih sayang. Pendidikan dipandang cukup oleh orang tua jika sudah bisa memasukkan anaknya ke TK mahal, SD prestisius, SMP favorit sampai universitas terkenal. Tidak ada yang lebih baik daripada menempatkan anaknya diantara anak-anak pintar dan sekolah terbaik. Salahkah? Tentu tidak, sekolah yang baik tentu sedikit banyak akan membawa pengaruh dalam kehidupannya.
Tapi sebenarnya sekolah pertama dan utama adalah keluarganya, namun disinilah anak tidak mendapat pendidikan yang semestinya. Sekarang ini jamak kita lihat para ibu keluar rumah untuk bekerja, memberikan pengasuhan anak pada sang nenek, baby sitter, atau pembantu. Bahkan kalau dihitung-hitung gaji tiap bulan bila dibayarkan pada baby sitter dan pembantu ternyata hampir impas.
Meski dianggap kuno, secara kodrat ayahlah yang bertugas mencari nafkah. Itu karena para ayah diberikan kelebihan fisik yang kuat, pemikiran yang stabil, tidak mudah terpengaruh emosi, dan bila pulang malam lebih bisa menjaga dirinya (kebayang kan bila wanita pulang larut malam? Jalanan adalah tempat kejahatan). Selain itu ayah cenderung bersifat keras, kurang sabar, dan kasar sangat tidak cocok dalam mengasuh anak-anak. Apalagi anak-anak selalu punya tingkah ‘ajaib’ yang menurut orang tua seringkali tidak masuk akal.
Lalu kalau keadaan ekonomi kurang apakah istri tidak boleh bekerja? Bekerjanya istri harus mendapat ijin suami, dalam syariat islam seorang istri hanya bertugas melayani suami dan mengasuh anak-anaknya. Bahkan jika mampu suami harus mencarikan orang untuk membantu urusan rumah tangga  agar istri lebih fokus mengasuh anak. Kalau seandainya mengalami kekurangan dalam penghasilan lebih utama istri bekerja di rumah, sesuai dengan keterampilannya. Sehingga anak tetap ada dalam pengawasan, karena semua yang terjadi pada anak-anak akan menjadi landasan kehidupannya kelak dewasa.
Kalau tidak punya keterampilan? Tidak mungkin! Allah pasti memberikan kelebihan pada setiap hambaNya. Ada yang pintar masak, menulis, membuat kerajinan, menyulam, merajut, membuat kripik, merias, dan berbagai keterampilan lain. Kalau merasa tidak punya juga coba lihat pendidikan Anda, bagi sarjana psikologi  bisa membuka klinik konsultasi di rumah, bagi yang SMA nilai matematikanya bagus bisa memberi les pada anak SD (secara matematika SD kan belum seruwet matematika SMA hehe), kalau yang prestasi akademik dan keterampilan pas-pasan masih cara lain. Misalnya jadi makelar barang-barang, jadi reseller baju, sepatu, buku, lalu promosi ke komunitas arisan, ibu-ibu tetangga, milis, facebook, twitter, pokoknya banyak cara untuk menambah penghasilan tanpa perlu bekerja di kantor, toko, bank, yang pasti menyita waktu yang amat berharga bagi perkembangan anak.
Kalau dipikir-pikir sebenarnya Allah tidak akan lupa memberi rejeki pada hambaNya, tinggal kita mau bersyukur atau tidak. Bila seorang istri tidak bekerja Allah akan memberikan rejeki itu lewat suaminya. Misalnya suami jadi sering dapat bonus, suami naik jabatan, suami dapat pekerjaan yang lebih baik, atau dagangan suami jadi tambah laris, bisnis maju, karier melesat. Terus karena istri fokus dirumah melayani suami maka suami merasa tenang dan bahagia berdekatan dengan istri, nah pada saat itu biasanya suami jadi loyal, apa yang diminta istri diberikan (asal mintanya nggak keterlaluan ya). Enak kan nggak kerja tapi tetep dapat uang buat beli baju, jajan, sepatu, tas, dll hehe...
Banyak teman saya yang mengeluh betapa repot dan capeknya saat mengasuh anak terutama balita. Mereka lebih nyaman bekerja karena merasa lebih eksis, percaya diri, dan bisa melepaskan kepenatan di rumah. Memang tantangan utama menjadi ibu rumah tangga adalah lelah dan bosan. Bagaimana tidak bosan bila dari membuka mata sampai menutup mata yang dikerjakan sama, bahkan tengah malam harus siap-siap bangun bila anak rewel. Berbeda bila bekerja, bisa bertemu orang-orang, bercanda, makan siang bersama rekan, perjalanan dinas, bahkan rasanya pekerjaan seberat apapun di kantor lebih baik daripada seharian mendekam di rumah bersama anak.
Padahal saat hamil mereka terlihat sangat bahagia, berbagai status berbunga-bunga di jejaring sosial seolah ingin berkata pada dunia “Woi, sebentar lagi gue akan punya bayi!”. Tak sabar menunggu jadwal kunjungan dokter untuk mengintip si dedek yang sedang tumbuh di rahim. Namun ketika anak yang ditunggu-tunggu lahir, tiba-tiba mereka merasa kelelahan, kerepotan, kebosanan, hingga akhirnya bersyukur bisa kembali bekerja.
Saya yakin tidak semua ibu demikian, tapi yang perlu disadari bahwa pengalaman pernah bekerja secara tidak sadar menjadi pembanding dalam mengasuh anak. Sehingga para ibu menjadi tidak sabar dan telaten. Saya pun mengalaminya, saat menjalani kehidupan sebagai ibu rumah tangga maka hal yang paling membuat saya tertekan adalah lelah, bosan, dan merasa tidak berguna. Seolah menjadi ibu rumah tangga sangat tidak ada harganya, apalagi bila melihat teman yang kerja di kantor-kantor berpakaian rapi, cantik, dan modis. Sangat berbeda dengan saya yang sering memakai pakaian rumahan, itupun baunya sudah tidak karu-karuan campur baur antara bumbu masakan, keringat, dan ompolnya Raihan. Rambutpun lebih banyak berantakan karena sering jadi ajang mainan anak saya yang luar biasa kelakuannya.
Tapi saya tidak mau lama-lama hanyut dalam perasaan yang membuat saya semakin jatuh. Ketika menikah maka saya sudah siap untuk total di rumah, apalagi ada hadist yang mengatakan bila istri meninggal dan suami ridha kepadanya maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga. Kemudian saya mencoba menikmati peran saya, mengisi waktu disela-sela pekerjaan rumah tangga dan mengasuh Raihan dengan melakukan hobi contohnya menulis di blog seperti ini. Selain itu saya juga suka membuat kue-kue, saya yakin suatu saat kemampuan ini akan berguna dan insya Allah dicatat sebagai amal kebaikan.
Sepertinya tulisan ini sudah terlalu panjang, meski tidak pas lebih baik dipotong di sini saja. Insya Allah dilanjutkan lagi. Apalagi ini adalah kesempatan berharga untuk tidur, karena Raihan pun sedang tidur, lumayanlah merebahkan badan barang setengah jam, sebelum dia bangun dan menguasai laptop untuk main game dan nonton upin ipin.
Salam hangat.
- See more at: http://sayaummiraihan.blogspot.com/2013/01/anak-pekerjaan-dan-pengasuhan.html#sthash.CpfftQ2N.dpuf
Apakah Anda mencintai anak Anda? Tentu saja! Tidak diragukan lagi setiap orang tua secara fitrah akan mencintai anaknya. Andai perasaan seperti ini tidak ada maka manusia tidak akan ada di dunia ini. orang tua tidak akan sabar memelihara anak-anak mereka, tidak peduli terhadap kebutuhan hidup mereka, cuek saja saat anak sakit. Bahkan kecintaan orang tua begitu besarnya sampai tak pernah terpikir untuk meminta imbalan atau ganti rugi pada anaknya.
Apalagi bagi pasangan yang sudah lama mengharapkan kehadiran buah hati, anak adalah harta yang tak ternilai, jauh lebih berharga dari emas, rumah, tanah, atau mobil. Mereka melakukan berbagai macam cara dari yang realistis sampai mistis. Ada yang menempuh jalan sesuai syariat ada juga yang malah terjerumus pada kemusyrikan. Sungguh luar biasa arti seorang anak, anak yang lahir dari darah daging sendiri.
Lalu ketika sang buah hati lahir apa yang dilakukan orang tua? Pastilah mereka akan merawat dengan sebaik-baiknya, memberikan susu terbaik, membelikan pakaian yang lucu-lucu, mainan berlimpah, hingga mendesain kamar khusus bagi anak. Saat orang tua melihat anaknya tumbuh sehat, gemuk, lincah, berjalan tertatih, belajar bicara, dan bisa menghitung satu –dua-tiga betapa bahagianya. Seolah celotehan balita yang tidak jelas bicaranya lebih merdu dari suara penyanyi terbaik manapun.
Namun sayangnya banyak orangtua yang ‘menelantarkan’ anaknya dalam hal pendidikan dan kasih sayang. Pendidikan dipandang cukup oleh orang tua jika sudah bisa memasukkan anaknya ke TK mahal, SD prestisius, SMP favorit sampai universitas terkenal. Tidak ada yang lebih baik daripada menempatkan anaknya diantara anak-anak pintar dan sekolah terbaik. Salahkah? Tentu tidak, sekolah yang baik tentu sedikit banyak akan membawa pengaruh dalam kehidupannya.
Tapi sebenarnya sekolah pertama dan utama adalah keluarganya, namun disinilah anak tidak mendapat pendidikan yang semestinya. Sekarang ini jamak kita lihat para ibu keluar rumah untuk bekerja, memberikan pengasuhan anak pada sang nenek, baby sitter, atau pembantu. Bahkan kalau dihitung-hitung gaji tiap bulan bila dibayarkan pada baby sitter dan pembantu ternyata hampir impas.
Meski dianggap kuno, secara kodrat ayahlah yang bertugas mencari nafkah. Itu karena para ayah diberikan kelebihan fisik yang kuat, pemikiran yang stabil, tidak mudah terpengaruh emosi, dan bila pulang malam lebih bisa menjaga dirinya (kebayang kan bila wanita pulang larut malam? Jalanan adalah tempat kejahatan). Selain itu ayah cenderung bersifat keras, kurang sabar, dan kasar sangat tidak cocok dalam mengasuh anak-anak. Apalagi anak-anak selalu punya tingkah ‘ajaib’ yang menurut orang tua seringkali tidak masuk akal.
Lalu kalau keadaan ekonomi kurang apakah istri tidak boleh bekerja? Bekerjanya istri harus mendapat ijin suami, dalam syariat islam seorang istri hanya bertugas melayani suami dan mengasuh anak-anaknya. Bahkan jika mampu suami harus mencarikan orang untuk membantu urusan rumah tangga  agar istri lebih fokus mengasuh anak. Kalau seandainya mengalami kekurangan dalam penghasilan lebih utama istri bekerja di rumah, sesuai dengan keterampilannya. Sehingga anak tetap ada dalam pengawasan, karena semua yang terjadi pada anak-anak akan menjadi landasan kehidupannya kelak dewasa.
Kalau tidak punya keterampilan? Tidak mungkin! Allah pasti memberikan kelebihan pada setiap hambaNya. Ada yang pintar masak, menulis, membuat kerajinan, menyulam, merajut, membuat kripik, merias, dan berbagai keterampilan lain. Kalau merasa tidak punya juga coba lihat pendidikan Anda, bagi sarjana psikologi  bisa membuka klinik konsultasi di rumah, bagi yang SMA nilai matematikanya bagus bisa memberi les pada anak SD (secara matematika SD kan belum seruwet matematika SMA hehe), kalau yang prestasi akademik dan keterampilan pas-pasan masih cara lain. Misalnya jadi makelar barang-barang, jadi reseller baju, sepatu, buku, lalu promosi ke komunitas arisan, ibu-ibu tetangga, milis, facebook, twitter, pokoknya banyak cara untuk menambah penghasilan tanpa perlu bekerja di kantor, toko, bank, yang pasti menyita waktu yang amat berharga bagi perkembangan anak.
Kalau dipikir-pikir sebenarnya Allah tidak akan lupa memberi rejeki pada hambaNya, tinggal kita mau bersyukur atau tidak. Bila seorang istri tidak bekerja Allah akan memberikan rejeki itu lewat suaminya. Misalnya suami jadi sering dapat bonus, suami naik jabatan, suami dapat pekerjaan yang lebih baik, atau dagangan suami jadi tambah laris, bisnis maju, karier melesat. Terus karena istri fokus dirumah melayani suami maka suami merasa tenang dan bahagia berdekatan dengan istri, nah pada saat itu biasanya suami jadi loyal, apa yang diminta istri diberikan (asal mintanya nggak keterlaluan ya). Enak kan nggak kerja tapi tetep dapat uang buat beli baju, jajan, sepatu, tas, dll hehe...
Banyak teman saya yang mengeluh betapa repot dan capeknya saat mengasuh anak terutama balita. Mereka lebih nyaman bekerja karena merasa lebih eksis, percaya diri, dan bisa melepaskan kepenatan di rumah. Memang tantangan utama menjadi ibu rumah tangga adalah lelah dan bosan. Bagaimana tidak bosan bila dari membuka mata sampai menutup mata yang dikerjakan sama, bahkan tengah malam harus siap-siap bangun bila anak rewel. Berbeda bila bekerja, bisa bertemu orang-orang, bercanda, makan siang bersama rekan, perjalanan dinas, bahkan rasanya pekerjaan seberat apapun di kantor lebih baik daripada seharian mendekam di rumah bersama anak.
Padahal saat hamil mereka terlihat sangat bahagia, berbagai status berbunga-bunga di jejaring sosial seolah ingin berkata pada dunia “Woi, sebentar lagi gue akan punya bayi!”. Tak sabar menunggu jadwal kunjungan dokter untuk mengintip si dedek yang sedang tumbuh di rahim. Namun ketika anak yang ditunggu-tunggu lahir, tiba-tiba mereka merasa kelelahan, kerepotan, kebosanan, hingga akhirnya bersyukur bisa kembali bekerja.
Saya yakin tidak semua ibu demikian, tapi yang perlu disadari bahwa pengalaman pernah bekerja secara tidak sadar menjadi pembanding dalam mengasuh anak. Sehingga para ibu menjadi tidak sabar dan telaten. Saya pun mengalaminya, saat menjalani kehidupan sebagai ibu rumah tangga maka hal yang paling membuat saya tertekan adalah lelah, bosan, dan merasa tidak berguna. Seolah menjadi ibu rumah tangga sangat tidak ada harganya, apalagi bila melihat teman yang kerja di kantor-kantor berpakaian rapi, cantik, dan modis. Sangat berbeda dengan saya yang sering memakai pakaian rumahan, itupun baunya sudah tidak karu-karuan campur baur antara bumbu masakan, keringat, dan ompolnya Raihan. Rambutpun lebih banyak berantakan karena sering jadi ajang mainan anak saya yang luar biasa kelakuannya.
Tapi saya tidak mau lama-lama hanyut dalam perasaan yang membuat saya semakin jatuh. Ketika menikah maka saya sudah siap untuk total di rumah, apalagi ada hadist yang mengatakan bila istri meninggal dan suami ridha kepadanya maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga. Kemudian saya mencoba menikmati peran saya, mengisi waktu disela-sela pekerjaan rumah tangga dan mengasuh Raihan dengan melakukan hobi contohnya menulis di blog seperti ini. Selain itu saya juga suka membuat kue-kue, saya yakin suatu saat kemampuan ini akan berguna dan insya Allah dicatat sebagai amal kebaikan.
Sepertinya tulisan ini sudah terlalu panjang, meski tidak pas lebih baik dipotong di sini saja. Insya Allah dilanjutkan lagi. Apalagi ini adalah kesempatan berharga untuk tidur, karena Raihan pun sedang tidur, lumayanlah merebahkan badan barang setengah jam, sebelum dia bangun dan menguasai laptop untuk main game dan nonton upin ipin.
Salam hangat.
- See more at: http://sayaummiraihan.blogspot.com/2013/01/anak-pekerjaan-dan-pengasuhan.html#sthash.CpfftQ2N.dpuf
Apakah Anda mencintai anak Anda? Tentu saja! Tidak diragukan lagi setiap orang tua secara fitrah akan mencintai anaknya. Andai perasaan seperti ini tidak ada maka manusia tidak akan ada di dunia ini. orang tua tidak akan sabar memelihara anak-anak mereka, tidak peduli terhadap kebutuhan hidup mereka, cuek saja saat anak sakit. Bahkan kecintaan orang tua begitu besarnya sampai tak pernah terpikir untuk meminta imbalan atau ganti rugi pada anaknya.
Apalagi bagi pasangan yang sudah lama mengharapkan kehadiran buah hati, anak adalah harta yang tak ternilai, jauh lebih berharga dari emas, rumah, tanah, atau mobil. Mereka melakukan berbagai macam cara dari yang realistis sampai mistis. Ada yang menempuh jalan sesuai syariat ada juga yang malah terjerumus pada kemusyrikan. Sungguh luar biasa arti seorang anak, anak yang lahir dari darah daging sendiri.
Lalu ketika sang buah hati lahir apa yang dilakukan orang tua? Pastilah mereka akan merawat dengan sebaik-baiknya, memberikan susu terbaik, membelikan pakaian yang lucu-lucu, mainan berlimpah, hingga mendesain kamar khusus bagi anak. Saat orang tua melihat anaknya tumbuh sehat, gemuk, lincah, berjalan tertatih, belajar bicara, dan bisa menghitung satu –dua-tiga betapa bahagianya. Seolah celotehan balita yang tidak jelas bicaranya lebih merdu dari suara penyanyi terbaik manapun.
Namun sayangnya banyak orangtua yang ‘menelantarkan’ anaknya dalam hal pendidikan dan kasih sayang. Pendidikan dipandang cukup oleh orang tua jika sudah bisa memasukkan anaknya ke TK mahal, SD prestisius, SMP favorit sampai universitas terkenal. Tidak ada yang lebih baik daripada menempatkan anaknya diantara anak-anak pintar dan sekolah terbaik. Salahkah? Tentu tidak, sekolah yang baik tentu sedikit banyak akan membawa pengaruh dalam kehidupannya.
Tapi sebenarnya sekolah pertama dan utama adalah keluarganya, namun disinilah anak tidak mendapat pendidikan yang semestinya. Sekarang ini jamak kita lihat para ibu keluar rumah untuk bekerja, memberikan pengasuhan anak pada sang nenek, baby sitter, atau pembantu. Bahkan kalau dihitung-hitung gaji tiap bulan bila dibayarkan pada baby sitter dan pembantu ternyata hampir impas.
Meski dianggap kuno, secara kodrat ayahlah yang bertugas mencari nafkah. Itu karena para ayah diberikan kelebihan fisik yang kuat, pemikiran yang stabil, tidak mudah terpengaruh emosi, dan bila pulang malam lebih bisa menjaga dirinya (kebayang kan bila wanita pulang larut malam? Jalanan adalah tempat kejahatan). Selain itu ayah cenderung bersifat keras, kurang sabar, dan kasar sangat tidak cocok dalam mengasuh anak-anak. Apalagi anak-anak selalu punya tingkah ‘ajaib’ yang menurut orang tua seringkali tidak masuk akal.
Lalu kalau keadaan ekonomi kurang apakah istri tidak boleh bekerja? Bekerjanya istri harus mendapat ijin suami, dalam syariat islam seorang istri hanya bertugas melayani suami dan mengasuh anak-anaknya. Bahkan jika mampu suami harus mencarikan orang untuk membantu urusan rumah tangga  agar istri lebih fokus mengasuh anak. Kalau seandainya mengalami kekurangan dalam penghasilan lebih utama istri bekerja di rumah, sesuai dengan keterampilannya. Sehingga anak tetap ada dalam pengawasan, karena semua yang terjadi pada anak-anak akan menjadi landasan kehidupannya kelak dewasa.
Kalau tidak punya keterampilan? Tidak mungkin! Allah pasti memberikan kelebihan pada setiap hambaNya. Ada yang pintar masak, menulis, membuat kerajinan, menyulam, merajut, membuat kripik, merias, dan berbagai keterampilan lain. Kalau merasa tidak punya juga coba lihat pendidikan Anda, bagi sarjana psikologi  bisa membuka klinik konsultasi di rumah, bagi yang SMA nilai matematikanya bagus bisa memberi les pada anak SD (secara matematika SD kan belum seruwet matematika SMA hehe), kalau yang prestasi akademik dan keterampilan pas-pasan masih cara lain. Misalnya jadi makelar barang-barang, jadi reseller baju, sepatu, buku, lalu promosi ke komunitas arisan, ibu-ibu tetangga, milis, facebook, twitter, pokoknya banyak cara untuk menambah penghasilan tanpa perlu bekerja di kantor, toko, bank, yang pasti menyita waktu yang amat berharga bagi perkembangan anak.
Kalau dipikir-pikir sebenarnya Allah tidak akan lupa memberi rejeki pada hambaNya, tinggal kita mau bersyukur atau tidak. Bila seorang istri tidak bekerja Allah akan memberikan rejeki itu lewat suaminya. Misalnya suami jadi sering dapat bonus, suami naik jabatan, suami dapat pekerjaan yang lebih baik, atau dagangan suami jadi tambah laris, bisnis maju, karier melesat. Terus karena istri fokus dirumah melayani suami maka suami merasa tenang dan bahagia berdekatan dengan istri, nah pada saat itu biasanya suami jadi loyal, apa yang diminta istri diberikan (asal mintanya nggak keterlaluan ya). Enak kan nggak kerja tapi tetep dapat uang buat beli baju, jajan, sepatu, tas, dll hehe...
Banyak teman saya yang mengeluh betapa repot dan capeknya saat mengasuh anak terutama balita. Mereka lebih nyaman bekerja karena merasa lebih eksis, percaya diri, dan bisa melepaskan kepenatan di rumah. Memang tantangan utama menjadi ibu rumah tangga adalah lelah dan bosan. Bagaimana tidak bosan bila dari membuka mata sampai menutup mata yang dikerjakan sama, bahkan tengah malam harus siap-siap bangun bila anak rewel. Berbeda bila bekerja, bisa bertemu orang-orang, bercanda, makan siang bersama rekan, perjalanan dinas, bahkan rasanya pekerjaan seberat apapun di kantor lebih baik daripada seharian mendekam di rumah bersama anak.
Padahal saat hamil mereka terlihat sangat bahagia, berbagai status berbunga-bunga di jejaring sosial seolah ingin berkata pada dunia “Woi, sebentar lagi gue akan punya bayi!”. Tak sabar menunggu jadwal kunjungan dokter untuk mengintip si dedek yang sedang tumbuh di rahim. Namun ketika anak yang ditunggu-tunggu lahir, tiba-tiba mereka merasa kelelahan, kerepotan, kebosanan, hingga akhirnya bersyukur bisa kembali bekerja.
Saya yakin tidak semua ibu demikian, tapi yang perlu disadari bahwa pengalaman pernah bekerja secara tidak sadar menjadi pembanding dalam mengasuh anak. Sehingga para ibu menjadi tidak sabar dan telaten. Saya pun mengalaminya, saat menjalani kehidupan sebagai ibu rumah tangga maka hal yang paling membuat saya tertekan adalah lelah, bosan, dan merasa tidak berguna. Seolah menjadi ibu rumah tangga sangat tidak ada harganya, apalagi bila melihat teman yang kerja di kantor-kantor berpakaian rapi, cantik, dan modis. Sangat berbeda dengan saya yang sering memakai pakaian rumahan, itupun baunya sudah tidak karu-karuan campur baur antara bumbu masakan, keringat, dan ompolnya Raihan. Rambutpun lebih banyak berantakan karena sering jadi ajang mainan anak saya yang luar biasa kelakuannya.
Tapi saya tidak mau lama-lama hanyut dalam perasaan yang membuat saya semakin jatuh. Ketika menikah maka saya sudah siap untuk total di rumah, apalagi ada hadist yang mengatakan bila istri meninggal dan suami ridha kepadanya maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga. Kemudian saya mencoba menikmati peran saya, mengisi waktu disela-sela pekerjaan rumah tangga dan mengasuh Raihan dengan melakukan hobi contohnya menulis di blog seperti ini. Selain itu saya juga suka membuat kue-kue, saya yakin suatu saat kemampuan ini akan berguna dan insya Allah dicatat sebagai amal kebaikan.
Sepertinya tulisan ini sudah terlalu panjang, meski tidak pas lebih baik dipotong di sini saja. Insya Allah dilanjutkan lagi. Apalagi ini adalah kesempatan berharga untuk tidur, karena Raihan pun sedang tidur, lumayanlah merebahkan badan barang setengah jam, sebelum dia bangun dan menguasai laptop untuk main game dan nonton upin ipin.
Salam hangat.
- See more at: http://sayaummiraihan.blogspot.com/2013/01/anak-pekerjaan-dan-pengasuhan.html#sthash.CpfftQ2N.dpuf
Apakah Anda mencintai anak Anda? Tentu saja! Tidak diragukan lagi setiap orang tua secara fitrah akan mencintai anaknya. Andai perasaan seperti ini tidak ada maka manusia tidak akan ada di dunia ini. orang tua tidak akan sabar memelihara anak-anak mereka, tidak peduli terhadap kebutuhan hidup mereka, cuek saja saat anak sakit. Bahkan kecintaan orang tua begitu besarnya sampai tak pernah terpikir untuk meminta imbalan atau ganti rugi pada anaknya.
Apalagi bagi pasangan yang sudah lama mengharapkan kehadiran buah hati, anak adalah harta yang tak ternilai, jauh lebih berharga dari emas, rumah, tanah, atau mobil. Mereka melakukan berbagai macam cara dari yang realistis sampai mistis. Ada yang menempuh jalan sesuai syariat ada juga yang malah terjerumus pada kemusyrikan. Sungguh luar biasa arti seorang anak, anak yang lahir dari darah daging sendiri.
Lalu ketika sang buah hati lahir apa yang dilakukan orang tua? Pastilah mereka akan merawat dengan sebaik-baiknya, memberikan susu terbaik, membelikan pakaian yang lucu-lucu, mainan berlimpah, hingga mendesain kamar khusus bagi anak. Saat orang tua melihat anaknya tumbuh sehat, gemuk, lincah, berjalan tertatih, belajar bicara, dan bisa menghitung satu –dua-tiga betapa bahagianya. Seolah celotehan balita yang tidak jelas bicaranya lebih merdu dari suara penyanyi terbaik manapun.
Namun sayangnya banyak orangtua yang ‘menelantarkan’ anaknya dalam hal pendidikan dan kasih sayang. Pendidikan dipandang cukup oleh orang tua jika sudah bisa memasukkan anaknya ke TK mahal, SD prestisius, SMP favorit sampai universitas terkenal. Tidak ada yang lebih baik daripada menempatkan anaknya diantara anak-anak pintar dan sekolah terbaik. Salahkah? Tentu tidak, sekolah yang baik tentu sedikit banyak akan membawa pengaruh dalam kehidupannya.
Tapi sebenarnya sekolah pertama dan utama adalah keluarganya, namun disinilah anak tidak mendapat pendidikan yang semestinya. Sekarang ini jamak kita lihat para ibu keluar rumah untuk bekerja, memberikan pengasuhan anak pada sang nenek, baby sitter, atau pembantu. Bahkan kalau dihitung-hitung gaji tiap bulan bila dibayarkan pada baby sitter dan pembantu ternyata hampir impas.
Meski dianggap kuno, secara kodrat ayahlah yang bertugas mencari nafkah. Itu karena para ayah diberikan kelebihan fisik yang kuat, pemikiran yang stabil, tidak mudah terpengaruh emosi, dan bila pulang malam lebih bisa menjaga dirinya (kebayang kan bila wanita pulang larut malam? Jalanan adalah tempat kejahatan). Selain itu ayah cenderung bersifat keras, kurang sabar, dan kasar sangat tidak cocok dalam mengasuh anak-anak. Apalagi anak-anak selalu punya tingkah ‘ajaib’ yang menurut orang tua seringkali tidak masuk akal.
Lalu kalau keadaan ekonomi kurang apakah istri tidak boleh bekerja? Bekerjanya istri harus mendapat ijin suami, dalam syariat islam seorang istri hanya bertugas melayani suami dan mengasuh anak-anaknya. Bahkan jika mampu suami harus mencarikan orang untuk membantu urusan rumah tangga  agar istri lebih fokus mengasuh anak. Kalau seandainya mengalami kekurangan dalam penghasilan lebih utama istri bekerja di rumah, sesuai dengan keterampilannya. Sehingga anak tetap ada dalam pengawasan, karena semua yang terjadi pada anak-anak akan menjadi landasan kehidupannya kelak dewasa.
Kalau tidak punya keterampilan? Tidak mungkin! Allah pasti memberikan kelebihan pada setiap hambaNya. Ada yang pintar masak, menulis, membuat kerajinan, menyulam, merajut, membuat kripik, merias, dan berbagai keterampilan lain. Kalau merasa tidak punya juga coba lihat pendidikan Anda, bagi sarjana psikologi  bisa membuka klinik konsultasi di rumah, bagi yang SMA nilai matematikanya bagus bisa memberi les pada anak SD (secara matematika SD kan belum seruwet matematika SMA hehe), kalau yang prestasi akademik dan keterampilan pas-pasan masih cara lain. Misalnya jadi makelar barang-barang, jadi reseller baju, sepatu, buku, lalu promosi ke komunitas arisan, ibu-ibu tetangga, milis, facebook, twitter, pokoknya banyak cara untuk menambah penghasilan tanpa perlu bekerja di kantor, toko, bank, yang pasti menyita waktu yang amat berharga bagi perkembangan anak.
Kalau dipikir-pikir sebenarnya Allah tidak akan lupa memberi rejeki pada hambaNya, tinggal kita mau bersyukur atau tidak. Bila seorang istri tidak bekerja Allah akan memberikan rejeki itu lewat suaminya. Misalnya suami jadi sering dapat bonus, suami naik jabatan, suami dapat pekerjaan yang lebih baik, atau dagangan suami jadi tambah laris, bisnis maju, karier melesat. Terus karena istri fokus dirumah melayani suami maka suami merasa tenang dan bahagia berdekatan dengan istri, nah pada saat itu biasanya suami jadi loyal, apa yang diminta istri diberikan (asal mintanya nggak keterlaluan ya). Enak kan nggak kerja tapi tetep dapat uang buat beli baju, jajan, sepatu, tas, dll hehe...
Banyak teman saya yang mengeluh betapa repot dan capeknya saat mengasuh anak terutama balita. Mereka lebih nyaman bekerja karena merasa lebih eksis, percaya diri, dan bisa melepaskan kepenatan di rumah. Memang tantangan utama menjadi ibu rumah tangga adalah lelah dan bosan. Bagaimana tidak bosan bila dari membuka mata sampai menutup mata yang dikerjakan sama, bahkan tengah malam harus siap-siap bangun bila anak rewel. Berbeda bila bekerja, bisa bertemu orang-orang, bercanda, makan siang bersama rekan, perjalanan dinas, bahkan rasanya pekerjaan seberat apapun di kantor lebih baik daripada seharian mendekam di rumah bersama anak.
Padahal saat hamil mereka terlihat sangat bahagia, berbagai status berbunga-bunga di jejaring sosial seolah ingin berkata pada dunia “Woi, sebentar lagi gue akan punya bayi!”. Tak sabar menunggu jadwal kunjungan dokter untuk mengintip si dedek yang sedang tumbuh di rahim. Namun ketika anak yang ditunggu-tunggu lahir, tiba-tiba mereka merasa kelelahan, kerepotan, kebosanan, hingga akhirnya bersyukur bisa kembali bekerja.
Saya yakin tidak semua ibu demikian, tapi yang perlu disadari bahwa pengalaman pernah bekerja secara tidak sadar menjadi pembanding dalam mengasuh anak. Sehingga para ibu menjadi tidak sabar dan telaten. Saya pun mengalaminya, saat menjalani kehidupan sebagai ibu rumah tangga maka hal yang paling membuat saya tertekan adalah lelah, bosan, dan merasa tidak berguna. Seolah menjadi ibu rumah tangga sangat tidak ada harganya, apalagi bila melihat teman yang kerja di kantor-kantor berpakaian rapi, cantik, dan modis. Sangat berbeda dengan saya yang sering memakai pakaian rumahan, itupun baunya sudah tidak karu-karuan campur baur antara bumbu masakan, keringat, dan ompolnya Raihan. Rambutpun lebih banyak berantakan karena sering jadi ajang mainan anak saya yang luar biasa kelakuannya.
Tapi saya tidak mau lama-lama hanyut dalam perasaan yang membuat saya semakin jatuh. Ketika menikah maka saya sudah siap untuk total di rumah, apalagi ada hadist yang mengatakan bila istri meninggal dan suami ridha kepadanya maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga. Kemudian saya mencoba menikmati peran saya, mengisi waktu disela-sela pekerjaan rumah tangga dan mengasuh Raihan dengan melakukan hobi contohnya menulis di blog seperti ini. Selain itu saya juga suka membuat kue-kue, saya yakin suatu saat kemampuan ini akan berguna dan insya Allah dicatat sebagai amal kebaikan.
Sepertinya tulisan ini sudah terlalu panjang, meski tidak pas lebih baik dipotong di sini saja. Insya Allah dilanjutkan lagi. Apalagi ini adalah kesempatan berharga untuk tidur, karena Raihan pun sedang tidur, lumayanlah merebahkan badan barang setengah jam, sebelum dia bangun dan menguasai laptop untuk main game dan nonton upin ipin.
Salam hangat.
- See more at: http://sayaummiraihan.blogspot.com/2013/01/anak-pekerjaan-dan-pengasuhan.html#sthash.CpfftQ2N.dpuf
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. MauApaAja - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger