Perkembangan posisi keuangan mempunyai
arti yang sangat penting bagi perusahaan. Untuk melihat sehat tidaknya
suatu perusahaan tidak hanya dapat dinilai dari keadaan fisiknya saja,
misalnya dilihat dari gedung, pembangunan atau ekspansi. Faktor
terpenting untuk dapat melihat perkembangan suatu perusahaan terletak
dalam unsur keuangannya, karena dari unsur tersebut juga dapat
mengevaluasi apakah kebijakan yang ditempuh suatu perusahaan sudah tepat
atau belum, mengingat sudah begitu kompleksnya permasalahan yang dapat
menyebabkan kebangkrutan dikarenakan banyaknya perusahaan yang akhirnya
gulung tikar karena faktor keuangan yang tidak sehat.
Analisis keuangan pada dasarnya ingin
melihat prospek dan risiko perusahaan. Prospek bisa dilihat dari tingkat
keuntungan (profitabilitas) dan risiko bisa dilihat dari kemungkinan
perusahaan mengalami kesulitan keuangan atau mengalami kebangkrutan.
Rasio keuangan adalah perbandingan
antara dua elemen laporan keuangan yang menunjukkan suatu indikator
kesehatan keuangan pada waktu tertentu (Erich A Helfert, 1996: 87).
Tujuan analisis rasio keuangan adalah untuk mengetahui hubungan-hubungan
antara pos-pos neraca dan laba rugi dan merupakan alat untuk mengukur
kemampuan dan kelemahan suatu perusahaan berdasarkan dari data yang
diperoleh dari laporan keuangan perusahaan yang bersangkutan.
Jenis-jenis rasio keuangan:
Menurut SK Menteri Keuangan RI
No.826/KMK.013/1992, likuiditas merupakan perbandingan antara aktiva
lancar dengan utang lancar. Likuiditas (Riyanto, 1995: 25) adalah
berhubungan dengan masalah kemampuan suatu perusahaan untuk memenuhi
kewajiban finansialnya yang segera harus dipenuhi.
Jumlah alat-alat pembayaran (alat likuid)
yang dimiliki oleh suatu perusahaan pada suatu saat merupakan kekuatan
membayar dari perusahaan yang bersangkutan.
Suatu perusahaan yang mempunyai kekutan
membayar sedemikian besarnya sehingga mampu memenuhi segala kewajiban
finansialnya yang segera harus dipenuhi, dikatakan bahwa perusahaan
tersebut adalah likuid, dan sebaliknya yang tidak mempunyai kemampuan
membayar adalah illikuid.
Variabel likuiditas dalam penelitian ini diukur dengan current ratio (CR). Rasio ini menunjukkan kemampuan perusahaan memenuhi kewajiban jangka pendeknya dengan menggunakan aktiva lancarnya.
2. Current Ratio
Untuk mengukur kemampuan bank dalam
membayar kembali simpanan nasabah pada saat ditarik dengan menggunakan
alat-alat likuid yang dimilikinya. Alat Likuid: uang kas di bank dan
rekening giro yang disimpan di Bank Indonesia.
Profitabilitas adalah kemampuan
perusahaan memperoleh laba dalam hubungannya dengan penjualan, total
aktiva, maupun modal sendiri (Sartono, 1998: 130). Jumlah laba bersih
sering dibandingkan dengan ukuran kegiatan atau kondisi keuangan lainnya
seperti penjualan, aktiva, ekuitas pemegang saham untuk menilai kinerja
sebagai suatu persentase dari beberapa tingkat aktivitas atau
investasi.
Solvabilitas suatu perusahaan menunjukkan
kemampuan perusahaan untuk memenuhi segala kewajiban finansialnya
apabila perusahaan sekiranya saat ini dilikuidasikan (Riyanto, 1995:
32). Pengertian solvabilitas dimaksudkan sebagai kemampuan perusahaan
untuk membayar semua utang-utangnya (baik jangka pendek dan jangka
panjang).
Suatu perusahaan yang solvabel berarti
bahwa perusahaan tersebut mempunyai aktiva atau kekayaan yang cukup
untuk membayar semua utang-utangnya, tetapi tidak dengan sendirinya
berarti bahwa perusahaan tersebut likuid. Sebaliknya perusahaan yang
insolvabel (tidak solvabel) tidak dengan sendirinya bahwa perusahaan
tersebut adalah juga likuid.
Dalam hubungan antara likuiditas dan
solvabilitas terdapat 4 kemungkinan yang dapat dialami perusahaan yaitu
(Riyanto, 1995: 32):
a. Perusahaan yang likuid tetapi insolvable.
b. Perusahaan yang likuid dan solvable.
c. Perusahaan yang solvabel tetapi illikuid
d. Perusahaan yang insolvabel dan illikuid
Profitabilitas adalah kemapuan perusahaan memperoleh laba dalam hubungan dengan penjualan, total aktiva, maupun modal sendiri.
Berikut adalah laporan laba rugi PT. Maju Jaya:
PT. Maju Jaya
Penjualan Bersih | 112.760.000 |
Harga Pokok Penjualan (HPP) | (85.300.000) |
Laba Kotor | 27.460.000 |
Biaya Pemasaran (6.540.000) | |
Biaya Admin&Umum (9.400.000) | |
Biaya Operasional | (15.940.000) |
Laba sebelum bunga & Pajak (EBIT) | 11.520.000 |
Bunga Hutang (jika ada) | (3.160.000) |
Laba Sebelum Pajak (EBT) | 8.360.000 |
Pajak Pendapatan (48%) atas EBT | (4.013.000) |
Laba setelah pajak | 4.347.000 |
Catatan:
Total Aktiva PT Maju Jaya = Rp 81.890.000,-
Adapun Rasio Profitabilitas yang akan dipakai adalah:
- Gross Profit Margin
- Net Profit Margin
- Return on Investment (ROI)
Gross Profit Margin
Gross Profit Margin = (Penjualan – HPP) / Penjualan Atau
Gross Profit Margin = Laba Kotor / Penjualan
Gross Profit Margin = 27.460.000 / 112.760.000 = 0,2435 = 24,35%
Gross Profit margin = 24,35%
Gross Profit Margin = (Penjualan – HPP) / Penjualan Atau
Gross Profit Margin = Laba Kotor / Penjualan
Gross Profit Margin = 27.460.000 / 112.760.000 = 0,2435 = 24,35%
Gross Profit margin = 24,35%
artinya bahwa setiap Rp 1,- (satu rupiah)
penjualan mampu menghasilkan laba kotor sebesar Rp 0,2435. Semakin
tinggi profitabilitasnya berarti semakin baik. Tetapi pada penghitungan
Gross Profit Margin, sangat dipengaruhi oleh HPP, sebab semakin besar
HPP, maka akan semakin kecil Gross Profit Margin yang dihasilkan.
Net Profit Margin
Net Profit Margin = Laba setelah pajak (EAT)/Penjualan
Net Profit Margin = 4.347.000 / 112.760.000 = Rp 0,0386 = 3,86%
Net Profit Margin = Laba setelah pajak (EAT)/Penjualan
Net Profit Margin = 4.347.000 / 112.760.000 = Rp 0,0386 = 3,86%
Apabila Gross Profit Margin selama suatu
periode tidak berubah, sedangkan Net Profit Marginnya mengalami
penurunan, berarti biaya meningkat relatif besar dibanding dengan
peningkatan penjualan.
Return On Investment (ROI) atau Return on Assets (ROA)
ROI = Laba setelah pajak (EAT) / Total Aktiva
ROI = Laba setelah pajak (EAT) / Total Aktiva
ROI = 4.347.000 / 81.890.000 = Rp 0,0531 = 5,31%
ROI = 5,31%
artinya menunjukkan kemampuan perusahaan
menghasilkan laba dari aktiva yang dipergunakan, berarti dengan Rp
1000,- aktiva akan menghasilkan laba bersih setelah pajak Rp 53,10 atau
dengan Rp 1,- menghasilkan laba bersih (EAT) Rp 0,0531.
D. Tingkat Kesehatan Perusahaan
Tingkat kesehatan perusahaan diperlukan
untuk melihat apakah suatu keuangan dalam suatu perusahaan itu dalam
keadaan sehat atau tidak. Hal ini dapat dilakukan dengan membandingkan
antara dua elemen yang ada atau disebut dengan rasio. Dengan rasio itu,
kita dapat mengetahui tingkat rentabilitas, likuiditas dan solvabilitas
suatu perusahaan dalam suatu periode tertentu. Peningkatan kinerja harus
selalu dikaitkan dengan penerapan prinsip efisiensi. Artinya, dalam
upaya menampilkan kinerja yang memuaskan suatu sistem bekerja sedemikian
rupa sehingga hasilnya menggunakan sebagai sarana, daya dan dana yang
dialokasikan untuk menyelenggarakannya.
Penggolongan tingkat kesehatan BUMN sudah
diatur oleh pemerintah yang dituangkan dalam SK Menteri Keuangan RI
No.826/KMK.013/1992. PT. Maju Jaya sebagai perusahaan BUMN menggunakan
SK Menteri Keuangan tersebut dalam penggolongan tingkat kesehatannya,
yaitu sebagai berikut:
1. Sehat sekali, jika bobot kinerja tahun terakhir adalah diatas 110.
2. Sehat, jika bobot kinerja tahun terakhir adalah diatas 100 sampai 110.
3. Kurang sehat, jika bobot kinerja tahun terakhir adalah diatas 90 sampai 100.
4. Tidak sehat, jika bobot kinerja tahun terakhir adalah kurang dari atau sama dengan 90.E. Pengaruh Likuiditas, Solvabilitas, dan Profitabilitas Terhadap Tingkat Kesehatan Perusahaan
Menurut SK Menteri Keuangan RI No.
826/KMK.013/1992 tentang tingkat kesehatan perusahaan, faktor
rentabilitas, likuiditas, dan solvabilitas adalah merupakan 100% dari
bobot tingkat kesehatan perusahaan. Faktor-faktor likuiditas,
solvabilitas dan rentabilitas tersebut akan dapat diketahui dengan cara
menganalisa dan menginterpretasikan laporan keuangan perusahaan yang
bersangkutan dengan menggunakan metode atau teknik analisa yang tepat
atau sesuai dengan tujuan analisa. Dengan kata lain laporan keuangan
suatu perusahaan perlu dianalisa karena dengan analisa tersebut akan
diperoleh semua jawaban yang berhubungan dengan masalah posisi keuangan
dan hasil-hasil yang dicapai oleh perusahaan yang bersangkutan.
Apabila suatu perusahaan dalam memenuhi
kebutuhan modalnya hanya mendasarkan pada pertimbangan solvabilitasnya
saja, maka pemenuhan modalnya haruslah selalu dipenuhi dengan modal
sendiri, karena makin besar modal sendiri maka makin tinggi tingkat
solvabilitasnya.