dakwatuna.com - Patut disyukuri, itu yang kami
komentari dari fenomena ODOJ ini. Perkembangannya begitu cepat bahkan
sampai ke mancanegara hanya dalam hitungan beberapa bulan. ODOJ
merupakan program, lebih tepatnya metodologi, agar orang bisa dan
terbiasa, mengkhatamkan Al Quran sebulan sekali. Dengan izin Allah
Ta’ala, para odojers ini dipertemukan dalam tujuan yang sama ingin mengkhatamkan Al Quran secara konsisten. Mereka mendapatkan bi’ah
(lingkungan) yang baik walau tidak saling jumpa, mereka bisa saling
mengingatkan, nasihat, menjaga semangat, dan tidak ada kepentingan apa
pun kecuali Al Quran. Banyak kisah-kisah inspiratif dari para odojers, mereka begitu menikmatinya.
Upaya mengkhatamkan Al Quran sebulan sekali, merupakan salah satu jenis usaha menjalankan perintah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berikut ini:
اقْرَإِ القُرْآنَ فِي شَهْرٍ
Bacalah (khatamkanlah) Al Quran dalam satu bulan. (HR. Al Bukhari No. 5054, dari Abdullah bin Amr)
Maka, menjalankan sunah qauliyah dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ini,
di tengah manusia banyak yang melupakan Al Quran, lupa dengan sunah,
dan lupa dengan agamanya secara umum, merupakan usaha yang sangat luar
biasa, dan tidak mudah. Ini mesti didukung dan dikuatkan, bukan justru
dicemooh dengan dasar asumsi semata, dengan menganggapnya riya,
terpaksa, dan memberatkan. Kalau pun ada yang tergelincir dalam riya,
atau dia terpaksa, maka hal tersebut kembali ke pribadinya masing-masing
dan hubungannya dengan Allah Ta’ala. Ketergelinciran personal ini bukan
hanya terjadi pada aktivitas membaca Al Quran, tetapi bisa terjadi pada
haji, shalat, shaum, memberikan muhadharah, menulis, dan sebagainya.
Semua ini bisa saja ada orang yang riya dan terpaksa. Tetapi bukan
berarti semua amal ini menjadi jelek, dicemooh, dan dianulir, hanya
karena ada person-person yang dijangkiti riya atau terpaksa.
Yang jelas, kami ingin mengapresiasi ODOJ ini dengan sebuah hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ
بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلَا
يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً
سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ
عَمِلَ بِهَا وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
“Barangsiapa dalam Islam membuat kebiasaan baik, maka tercatat
baginya pahala dan pahala orang yang mengikutinya setelahnya tanpa
mengurangi pahala mereka yang mengikutinya. Barangsiapa dalam Islam
membuat kebiasaan buruk, maka tercatat baginya dosa dan dosa orang yang
mengikutinya setelahnya, tanpa mengurangi dosa-dosa mereka.”(HR. Muslim,
No. 1017, At tirmidzi No. 2675, An Nasa’i No. 2554, Ibnu Majah No. 203,
Ahmad No. 19156)
Menampakkan Amal Shalih? Silakan!
Amat disayangkan adanya seorang penulis yang begitu bersemangat
mengkritik ODOJ dengan alasan “menampakkan amal.” Dengan mengutip hadits
tentang tujuh golongan manusia yang akan mendapatkan naungan Allah
Ta’ala, di antaranya seorang yang bersedekah dengan tangan kanan tetapi
tangan kirinya tidak tahu. Maksudnya orang yang bersedekah
sembunyi-sembunyi, yang dengannya lebih mudah untuk ikhlas.
Tidak hanya itu, penulis tersebut juga memaparkan kebiasaan sebagian
salaf yang lebih suka menyembunyikan amal shalih mereka, dan mereka malu
jika menampakkan kepada orang lain. Ada ulama yang ketika membaca
mushaf, langsung ditutupnya ketika ada orang yang melihatnya karena dia
tidak mau orang tahu bahwa dia sedang membaca Al Quran, dan seterusnya.
Padahal semua dalil yang dipaparkannya tak satu pun menunjukkan larangan
menampakkan amal shalih, melainkan menganjurkan pilihan yang lebih aman
dan keutamaan menyembunyikan amal shalih.
Kita mengetahui bahwa dalam ODOJ, masing-masing anggota melaporkan
hasil bacaannya kepada penanggung jawab bahwa dia sudah menyelesaikan
bacaannya, atau dia sedang sakit, atau muslimah yang haid, yang dengan
itu tidak bisa menyelesaikan, dan seterusnya. Barangkali inilah yang
menjadi sebab bahwa cara ODOJ ini seakan tidak syar’i, tidak sesuai
sunnah.
Tidak ada dalilnya, baik Al Quran dan As Sunnah, menganggap menampakkan amal itu suatu yang buruk, tercela, dan terlarang, justru
kadang menampakkan lebih baik dalam rangka menstimulus orang lain.
Dengan itu dia bisa menjadi inisiator sunah hasanah yang diikuti banyak
orang. Apalagi dalam keadaan terasingnya sebuah sunah di masyarakat,
atau terasingnya kebiasaan baik, maka kembali menghidupkan dan
mensyiarkannya secara terang-terangan adalah suatu yang mulia dan
memiliki keutamaan, sebab dia menghidupkan ajaran Islam yang tengah
redup. Ada pun keadaan hati si pelakunya, apakah dia riya, ikhlas, sum’ah, de el el,
serahkan kepada Allah Ta’ala, dan seorang muslim hendaknya berbaik
sangka kepada saudaranya, bukan justru melemahkan dengan menyebutnya
sebagai amal yang sebaiknya disembunyikan!
Allah Ta’ala Memuji Amal yang terangan dan tersembunyi
Kita akan dapatkan dalam pelita hidup setiap muslim, wahyu yang tidak
ada keraguan di dalamnya, yang semua isinya adalah haq, yaitu Al Quran
Al Karim, tentang anjuran beramal baik secara terang-terangan atau
tersembunyi. Kedua cara ini memiliki keutamaan masing-masing. Tidaklah
yang satu mendestruksi yang lain. Ini hanyalah masalah pilihan, yang
keduanya sama-sama bagus.
Kami akan sampaikan beberapa ayat tentang pujian Allah Ta’ala dan
perintah-Nya kepada manusia untuk berinfak secara tersembunyi atau
terang-terangan.
Perhatikan ayat-ayat berikut ini:
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ بِاللَّيْلِ
وَالنَّهَارِ سِرًّا وَعَلَانِيَةً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ
وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, Maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS. Al Baqarah 274)
Al Hafizh Ibnu Katsir Rahimahullah menerangkan:
هذا مدح منه تعالى للمنفقين في سبيله، وابتغاء مرضاته في
جميع الأوقات من ليل أو نهار، والأحوال من سر وجهار، حتى إن النفقة على
الأهل تدخل في ذلك أيضا
Ini adalah sanjungan dari Allah Ta’ala bagi para pelaku infak
dijalan-Nya, dan orang yang mencari ridha-Nya di semua waktu, baik malam
dan siang, dan berbagai keadaan baik tersembunyi atau terang-terangan,
sampai – sampai nafkah kepada keluarga juga termasuk dalam kategori ini.
(Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 1/707. Cet. 2. 1999M/1420H. Daruth Thayyibah.)
Ayat lainnya:
وَالَّذِينَ صَبَرُوا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِمْ
وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا
وَعَلَانِيَةً وَيَدْرَءُونَ بِالْحَسَنَةِ السَّيِّئَةَ أُولَئِكَ لَهُمْ
عُقْبَى الدَّارِ
Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang Itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik). (QS. Ar Ra’du: 22)
Ayat lainnya:
قُلْ لِعِبَادِيَ الَّذِينَ آمَنُوا يُقِيمُوا
الصَّلَاةَ وَيُنْفِقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً مِنْ
قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ يَوْمٌ لَا بَيْعٌ فِيهِ وَلَا خِلَالٌ
Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang telah beriman: “Hendaklah mereka mendirikan shalat, menafkahkan sebahagian rezki yang Kami berikan kepada mereka secara sembunyi ataupun terang-terangan sebelum datang hari (kiamat) yang pada hari itu tidak ada jual beli dan persahabatan.” (QS. Ibrahim: 31)
Lihat ayat ini, Allah Ta’ala memerintahkan berinfak baik secara
sembunyi atau terang-terangan, Allah Ta’ala tidak memerintahkan yang
sembunyi saja, tapi juga memerintahkan yang terang-terangan. Tidak
mencelanya, justru memerintahkannya.
Al Hafizh Ibnu Katsir Rahimahullah menjelaskan:
وأمر تعالى بالإنفاق مما رزق في السر، أي: في الخفية، والعلانية وهي: الجهر، وليبادروا إلى ذلك لخلاص أنفسهم
Allah Ta’ala memerintahkan untuk berinfak secara as sir, yaitu tersembunyi, dan al ‘alaaniyah yaitu ditampakkan, dan hendaknya mereka bersegara melakukan itu untuk mensucikan diri mereka. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 4/510. Cet. 2. 1999M/1420H. Daruth Thayyibah)
Terang-terangan atau tersembunyi, keduanya bisa dilakukan pada amal
yang wajib atau sunah. Berkata Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di Rahimahullah:
{سِرًّا وَعَلانِيَةً} وهذا يشمل النفقة الواجبة كالزكاة ونفقة من تجب عليه نفقته، والمستحبة كالصدقات ونحوها.
(Tersembunyi dan terangan-terangan) hal ini mencakup infak
yang wajib seperti zakat, dan nafkah kepada orang yang wajib baginya
untuk dinafkahi, dan juga yang sunah seperti berbagai sedekah dan
semisalnya. (Taisir Al Karim Ar Rahman fi Tafsir Kalam Al Manan, Hal. 426. Cet. 1. 2000M/1420H. Muasasah Ar Risalah)
Maka, berinfak –atau amal shalih apa saja- yang dilakukan secara
tersembunyi dan menampakkannya, telah dimuliakan, dipuji, dan dianjurkan
oleh Allah Ta’ala. Janganlah hawa nafsu manusia justru menganggap
tercela yang satu dibanding yang lainnya. Jika
tersembunyi, maka itu mulia karena hati Anda lebih selamat dari ‘ujub,
riya’, jika terkait sedekah maka orang yang menerima sedekah tidak
merasa malu menerimanya. Jika terang-terangan, maka itu juga mulia,
karena Anda bisa menjadi pionir kebaikan, menjadi contoh buat yang lain,
sehingga selain Anda mendapatkan pahala sendiri, Anda juga mendapatkan
pahala mereka lantaran mereka mengikuti kebaikan Anda.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun memuji orang yang menampakkan amalnya
Alangkah baiknya jika ini juga diketahui oleh penulis tersebut.
Jangan hanya menampilkan satu gambaran tentang para ulama yang
sembunyi-sembunyi membaca Al Quran, tapi lupa menampilkan yang lainnya.
Para sahabat nabi pun menampakkan amalnya, dan nabi tidak mencelanya
justru memujinya. Telah masyhur Para salaf jika berkumpul, mereka memperdengarkan salah seorang mereka untuk membaca Al Quran. Mereka tidak mengatakan, “Pelan-pelan aja suaranya, banyak orang nih, nanti kamu riya.” Ada pun para ODOJers,
mereka membacanya masing-masing di rumah, tidak berjamaah, kadang di
kantor, kadang di kendaraan, itu pun tanpa mengeraskan suara, sehingga
tidak ada yang terganggu dengan suara mereka.
Imam An Nawawi Rahimahullah memaparkan:
اعلم أن جماعات من السلف كانوا يطلبون من أصحاب القراءة
بالأصوات الحسنة أن يقرؤوا وهم يستمعون وهذا متفق على استحبابه وهو عادة
الأخيار والمتعبدين وعباد الله الصالحين وهى سنة ثابتة عن رسول الله صلى
الله عليه وسلم …..
Ketahuilah, banyak perkumpulan para salaf dahulu mereka meminta orang
yang ahli baca Al Quran untuk membaca dengan suara yang bagus, mereka
membacanya dan yang lain mendengarkannya. Ini disepakati sebagai hal
yang disukai, dan merupakan kebiasaan orang-orang pilihan dan ahli
ibadah, hamba-hamba Allah yang shalih. Dan, itu merupakan sunah yang
pasti dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam…. (lalu Imam An
Nawawi menyebutkan kisah Abdullah bin Mas’ud yang membaca Al Quran di
hadapan nabi dan para sahabat lainnya, seperti yang diriwayatkan oleh
Imam Al Bukhari dan Imam Muslim). (At Tibyan fi Aadab Hamalatil Quran, Hal. 113)
Lihat ini, justru para salaf meminta untuk menampakkannya, mereka ingin menikmatinya. Begitu pula Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terhadap bacaannya Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu, padahal wahyu turun kepadanya sendiri, tapi beliau ingin mendengarkannya dari orang lain.
Lalu Imam An Nawawi melanjutkan:
أنه كان يقول لأبي موسى الأشعري ذكرنا ربنا فيقرأ عنده القرآن. والآثار في هذا كثيرة معروفة
Bahwa Nabi berkata kepada Abu Musa Al Asy’ari: “Ingatkanlah kami kepada Rabb kami.” Maka Abu Musa membacakan Al Quran dihadapannya. Dan, Atsar-atsar seperti ini banyak dan telah dikenal. (Ibid, Hal. 114)
Nah, tak satu pun ada peringatan sesama mereka saat mereka meminta sahabatnya membaca Al Quran, “hati-hati riya ya …”, atau “jangan tampakkan suaramu kepada kami ..”.
Melaporkan dan menceritakan amal shalih, adalah riya?
Dalam komunitas ODOJ, ada penanggung jawab yang menerima laporan
harian anggotanya, sudah sampai mana bacaannya, apakah sudah selesai
satu juz atau belum. Hal ini tidak mengapa, sebagaimana seorang guru
yang menanyakan hasil kerjaan, tugas hafalan, siswanya dan si guru
memberikan batas waktu. Ini adalah tuntutan profesionalitas dalam
beramal. Ini pun dilakukan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bercerita tentang amal shalihnya:
وإني لأستغفر الله، في اليوم مائة مرة
Aku benar-benar beristighfar kepada Allah dalam sehari 100 kali. (HR. Muslim, 2702/41)
Riwayat lainnya:
يا أيها الناس توبوا إلى الله، فإني أتوب، في اليوم إليه مائة، مرة
Wahai manusia, bertaubatlah kalian kepada Allah, sesungguhnya dalam sehari aku bertaubat kepada-Nya seratus kali. (HR. Muslim, 2702/42)
Para sahabat pun juga. Perhatikan dialog berikut ini:
عن أبي هريرة، قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:
«من أصبح منكم اليوم صائما؟» قال أبو بكر رضي الله عنه: أنا، قال: «فمن تبع
منكم اليوم جنازة؟» قال أبو بكر رضي الله عنه: أنا، قال: «فمن أطعم منكم
اليوم مسكينا؟» قال أبو بكر رضي الله عنه: أنا، قال: «فمن عاد منكم اليوم
مريضا؟» قال أبو بكر رضي الله عنه: أنا، فقال رسول الله صلى الله عليه
وسلم: «ما اجتمعن في امرئ، إلا دخل الجنة»
Dari Abu Hurairah, dia berkata: Bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Siapakah di antara kalian yang hari ini berpuasa?” Abu Bakar menjawab: “Saya wahai Rasulullah.” Rasulullah bertanya lagi: “Siapakah di antara kalian yang hari ini mengantar jenazah?” Abu Bakar menjawab: “Saya wahai Rasulullah.” Rasulullah bertanya lagi: “Siapakah di antara kalian yang hari ini memberi makan orang miskin?” Abu Bakar menjawab: “Saya wahai Rasulullah.” Rasulullah bertanya lagi: “Siapakah di antara kalian yang hari ini menjenguk orang sakit?” Abu Bakar menjawab: “Saya wahai Rasulullah.” Rasulullah
bersabda: “Tidaklah semua amal di atas terkumpul dalam diri seseorang
melainkan ia akan masuk surga.” (HR. Muslim 1028)
Inilah Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiallahu ‘Anhu, dia tidak perlu malu untuk melaporkan apa yang sudah dia lakukan hari itu. Maka,
tidak masalah seseorang menceritakan amalnya, yang penting tidak
bermaksud memamerkannya, dan membanggakannya, tetapi agar orang lain
mendapatkan ‘ibrah darinya. Pendengar pun tidak dibebani untuk membedah hati orang yang melaporkannya. Itu tidak perlu, tidak penting, dan tidak masyru’. Justru, yang masyru’ adalah kita mesti husnuzhzhan kepadanya.
Para ulama mengatakan:
إحسان الظن بالله عز وجل وبالمسلمين واجب
Berprasangka yang baik kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan kaum muslimin adalah wajib. (Imam Badruddin Al ‘Aini, ‘Umdatul Qari, 29/325)
Kisah lainnya:
عَنْ جَابِرٍ، قَالَ: أَرْسَلَنِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ مُنْطَلِقٌ إِلَى بَنِي الْمُصْطَلِقِ،
فَأَتَيْتُهُ وَهُوَ يُصَلِّي عَلَى بَعِيرِهِ ، فَكَلَّمْتُهُ، فَقَالَ
بِيَدِهِ هَكَذَا، ثُمَّ كَلَّمْتُهُ، فَقَالَ بِيَدِهِ هَكَذَا، وَأَنَا
أَسْمَعُهُ يَقْرَأُ، وَيُومِئُ بِرَأْسِهِ، فَلَمَّا فَرَغَ قَالَ: ” مَا
فَعَلْتَ فِي الَّذِي أَرْسَلْتُكَ، فَإِنَّهُ لَمْ يَمْنَعْنِي إِلَّا
أَنِّي كُنْتُ أُصَلِّي.
Dari Jabir bin Abdullah katanya: “Saya diperintahkan nabi untuk
datang, saat itu beliau hendak pergi ke Bani Musthaliq. Ketika saya
datang beliau sedang shalat di atas kendaraannya. Saya pun berbicara
kepadanya dan beliau memberi isyarat dengan tangannya seperti ini. Saya
berbicara lagi dan beliau memberi isyarat dengan tangannya, sedangkan
bacaan shalat beliau terdengar oleh saya sambil beliau menganggukkan
kepala. Setelah beliau selesai shalat beliau bertanya: “Bagaimana
tugasmu yang padanya kamu saya utus? Sebenarnya tak ada halangan bagi
saya membalas ucapanmu itu, hanya saja saya sedang shalat.” (HR. Muslim No. 540, Ahmad No. 14345, Abu Daud No. 926, Abu ‘Awanah, 2/140, Ibnu Khuzaimah No. 889, Ibnu Hibban No. 2518, 2519)
Dalam kisah ini, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meminta laporan kerja dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu tanpa harus khawatir riya-nya Jabir jika dia melaporkannya.
Banyak sekali kitab yang menceritakan para ulama yang berkisah
tentang ibadahnya, shaumnya, shalatnya, jihadnya, bahkan mimpinya. Tentu
kita berbaik sangka, jangan menuduh mereka telah riya dalam
penceritaannya.
Menggembos amal shalih dengan menuduh riya adalah Akhlak Kaum Munafiq
Inilah yang terjadi, gara-gara seseorang menuduh saudaranya riya,
atau menakut-nakuti dari menampakkan amal shalih, akhirnya
perlahan-lahan ada yang membatalkan amal shalihnya karena takut disebut
riya, takut tidak ikhlas.
Inilah yang dilakukan orang munafiq pada zaman nabi, mereka menuduh
para sahabat riya, padahal mereka (kaum munafiq) sendiri yang riya.
Dari Abu Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu, dia bercerita:
“Sesudah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam memerintahkan
kami untuk bersedekah, maka Abu Uqail bersedekah dengan satu sha’, dan
datang seseorang dengan membawa lebih banyak dari itu, lalu orang-orang
munafik berkata:
“Allah ‘Azza wa Jalla tidak membutuhkan sedekah orang ini, orang ini tidak melakukannya kecuali dengan riya. Lalu turunlah ayat:
الَّذِينَ يَلْمِزُونَ الْمُطَّوِّعِينَ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ فِي الصَّدَقَاتِ وَالَّذِينَ لَا يَجِدُونَ إِلَّا جُهْدَهُمْ
“Orang-orang munafik itu yaitu orang-orang yang mencela orang-orang
mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang
yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekadar
kesanggupannya.” (QS. At Taubah: 79). (HR. Al Bukhari No. 4668)
Justru Allah Ta’ala menceritakan bahwa kaum munafikinlah yang riya.
Perhatikan ayat ini:
فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (4) الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ (5) الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ (6)
Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya. (QS. Al Ma’un: 4-6)
Imam Ibnu Katsir menjelaskan, bahwa ayat ini menceritakan tentang
sifat-sifat orang munafiq; lalai dari shalatnya, sekali pun shalat dia
riya. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengulang sampai tiga kali ucapan: tilka shalatul munaafiq (itulah shalatnya kaum munafik). Sebagaimana disebutkan dalam Shahihain. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 8/493)
Maka … wahai Saudaraku…
Janganlah kamu melemahkan dan menggembosi amal saudaramu …,
biarkanlah mereka beramal, membaca Al Quran satu juz sehari sesuai
target dan program mereka. Karena Nabi kita tidak pernah memerintah kita
membedah hati manusia, serahkanlah hati manusia kepada Allah Ta’ala.
Adakah kamu ketahui bahwa saudara-saudaramu itu menuntaskan satu juz
Al Quran sehari untuk pujian manusia? Mencari popularitas dan kedudukan?
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah berkata kepada Khalid bin Walid Radhiallahu ‘Anhu:
إِنِّي لَمْ أُومَرْ أَنْ أَنْقُبَ عَنْ قُلُوبِ النَّاسِ وَلاَ أَشُقَّ بُطُونَهُمْ
Aku tidak diperintah menyelidiki hati manusia dan tidak pula membedah perut mereka. (HR. Al Bukhari No. 4351, Muslim, 1064/144)
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga pernah berkata kepada Usamah bin Zaid Radhiallahu ‘Anhu:
أفلا شققت عن قلبه حتى تعلم أقالها أم لا؟
“Apakah engkau sudah membedah dadanya sehingga engkau tahu apakah hatinya berucap demikian atau tidak?” (HR. Muslim, 96/158)
Sederhananya, jangan mudah menyalah-nyalahkan amal shalih saudaramu,
yang bisa jadi amal shalih tersebut belum tentu kamu bisa lakukan.
Karena Allah Ta’ala berfirman:
مَا عَلَى الْمُحْسِنِينَ مِن سَبِيلٍ
Tidak ada jalan sedikit pun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. (QS. At Tawbah: 91)
Wahai Saudaraku ……… Arahkan penamu ke pelaku maksiat yang
terang-terangan, bukan kepada saudaramu yang sedang berlomba amal shalih
secara terang-terangan.
Alangkah baiknya, penamu itu kamu arahkan untuk mereka yang
terang-terangan beramal buruk, menyimpang, dan maksiat lainnya. Itu
semua ada di hadapanmu. Kenapa begitu gagah di hadapan para pelaku
kebaikan, tapi layu di hadapan para pelaku kemaksiatan? Allahul Musta’an!
Untuk Para ODOJers ……….
Alangkah indahnya nasihat Al Imam Fudhail bin ‘Iyadh Rahimahullah:
“Meninggalkan amalan karena manusia adalah riya` sedangkan beramal
karena manusia adalah kesyirikan, adapun yang namanya ikhlas adalah
ketika Allah menyelamatkanmu dari keduanya.” (Ucapan ini tersebar dalam banyak kitab, seperti Minhajul Qashidin-nya Imam Ibnu Qudamah, Tazkiyatun Nufuus-nya Imam Ibnu Rajab, dll)
Janganlah kalian batalkan amal shalih itu karena komentar miring
manusia, dan jangan pula kalian lakukan karena mengharapkan ridha
manusia, tetaplah beramal, dan jangan pernah pikirkan semua komentar
yang membuat hati kalian guncang. Urusan kalian adalah kepada Allah
Ta’ala bukan dengan mereka. Sibukkanlah hati kalian dengan-Nya, biarlah
mereka sibuk menyelediki hati kalian, sehingga mereka lupa dengan
hatinya sendiri. Sebab di akhirat nanti kullu nafsimbima kasabat rahiinah
(setiap jiwa bertanggung jawab atas perbuatannya masing-masing).
Memintalah kepada Allah Ta’ala agar tetap dijaga dan selamatkan dari
riya dan kesyirikan dalam beramal.
Wallahu A’lam Walillahil ‘Izzah walir Rasulih wal Mu’minin.