Pentingnya tujuan (goal) dalam hidup

Your life is controlled by your thoughts. Your thoughts are controlled by your goals – Earl Nightingale

Dalam cerita Alice in the Wonderland, ada suatu percakapan antara Alice dengan Cheshire Cat.

Alice : Saya ingin bertanya jalan mana yang harus saya ambil
Cheshire Cat: Yah, itu tergantung ke arah mana kamu mau pergi
Alice: Oh, ke mana saja tidak jadi masalah
Cheshire Cat: Kalo begitu jalan mana saja juga tidak masalah

Apakah kamu menangkap pesan dari percakapan di atas? Pesannya adalah kita harus memiliki goal atau tujuan dalam hidup kita. Goal inilah yang akan memberikan kita arah ke mana kita harus melangkah. Tanpa goal, kita seperti mengendarai mobil yang tidak tahu ke arah mana kita harus pergi dan hanya berputar2 saja.  


Dengan adanya goal / target, akan menuntun dan membantu kita untuk tetap fokus pada apa yang HARUS kita lakukan untuk mencapai tujuan hidup kita, yang mungkin berbeda dengan apa yang ingin kita lakukan pada saat itu.

Dalam menentukan goal, sebisa mungkin dibuat spesifik. Panduan dalam membuat goal adalah SMART:


Specific (Spesifik) – Goal harus spesifik dan jelas
Measurable (Bisa diukur) – bagaimana kamu tahu kalau kamu telah mencapai goal kamu?
Action-oriented – Fokus pada tindakan yang dapat atau harus kamu lakukan untuk mencapai goal tersebut.
Realistic (Realistis) – apakah goal kamu cukup realistis dan bisa dicapai?
Time & resource constrained (Batasan waktu dan sumber daya) – Kapan kamu ingin mencapai goal tersebut? Apakah kamu memiliki sumber daya dan kemampuan yang dibutuhkan?


Contoh:
Bukan SMART : ingin menurunkan berat badan
SMART goal : menurunkan berat badan 20 kg dalam waktu 1 bulan ke depan (beri tanggal pastinya)


Jika kamu sudah memiliki goal, maka kamu sudah bisa mulai membuat rencana bagaimana cara kamu untuk meraih goal tersebut. Jika dibutuhkan, rencana bisa saja berubah tergantung dari keadaan ketika pelaksanaan, tapi yang pasti semua rencana tersebut dibuat agar kamu dapat mencapai goal tersebut. Setelah ada goal dan juga rencananya, selanjutnya tinggal dilakukan d langkah-langkah rencananya. Jika kamu selalu dapat mencapai goal-goal tersebut, maka suatu saat kamu pasti akan tiba di gerbang kesuksesan.

Sumber: http://www.prinsipsukses.com

Muhasabah..

Metode untuk mengatasi kekuasaan nafsu ammarah atas hati seorang mukmin adalah dengan selalu mengintrospeksi dan menyelisihinya. Imam Ahmad meriwayatkan, Umar bin Khaththab berkata, "Hisablah dirimu sebelum dihisab! Sesungguhnya berintropeksi bagi kalian pada hari ini lebih ringan daripada hisab di kemudian hari. Begitu juga dengan hari 'aradl (penampakan amal) yang agung."

Hasan al-Bashri berkata, "Seorang mukmin itu pemimpin bagi dirinya sendiri. Ia mengintrospeksi dirinya karena Allah. Sesungguhnya hisab pada hari kiamat nanti akan ringan bagi mereka yang telah mengadakannya di dunia. Dan sebaliknya hisab akan berat bagi kaum yang menempuh urusan ini tanpa pernah berintrospeksi. Seorang mukmin itu bisa saja dikejutkan oleh sesuatu dan ia takjub kepadanya. Lalu berkatalah ia, 'Demi Allah, aku benar-benar menginginkanmu. Begitupun kamu adalah bagian dari kebutuhanku. Tetapi, allah tidak memberi alasan bagiku untuk mencapaimu. Duhai, ada jurang diantara kau dan aku!' Maka sesuatu itu pun lenyap dari hadapannya.

Kemudian si mukmin akan kembali kepada dirinya dan berkata, 'aku tidak menginginkan hal ini! Apa peduliku dengan semua ini! Demi Allah aku tidak akan mengulanginya selama-lamanya!' Orang-orang yang beriman adalah orang-orang yang ditopang oleh Al-Qur'an. Al-Qur'an menghalangi kehancurannya. Seorang mukmin adalah tawanan di dunia yang berusaha membebaskan diri (menuju negerinya: akhirat). Dia tidak merasa aman sampai berjumpa dengan Allah. Dia tahu bahwa pendengaran, penglihatan, lisan, dan anggota badan, semuanya akan dimintai pertanggungjawaban."

Malik bin Dinar bertutur,"Semoga Allah merahmati seseorang yang berkata kepada diri (nafsu)nya, 'Bukankah kamu pelaku ini? Bukankah kamu pelaku itu?' Lalu ia mencelanya dan mengalahkannya. Kemudian dia memulazamahkan dirinya kepada kitab Allah, sehingga menjadi pemimpinnya."

Adalah benar bagi setiap orang yang beriman kepada Allah subhanahu wa taala dan hari akhir untuk tidak melupakan introspeksi kepada nafsunya, menyempitkan ruang geraknya, dan menahan gejolaknya. Sehingga, setiap hembusan nafas adalah mutiara yang bernilai tinggi, dapat ditukar dengan perbendaharaan yang kenikmatannya tak akan pernah sirna sepanjang masa. Menyia-nyiakan nafas ini, atau menukarnya dengan sesuatu yang mendatangkan kecelakaan adalah kerugian yang sangat besar. Tidak dapat mentolerirnya kecuali manusia paling bodoh dan paling tolol. Hanya saja, hakekat kerugian ini baru benar-benar tampak nanti di hari kiamat.

"Pada hari setiap jiwa mendapati segala kebaikan yang dilakukannya dihadirkan dan juga segala kejahatan yang dilakukannya. Ia ingin ada penghalang yang panjang antara dia dan kejahatannya."(QS Ali Imran: 30)

Muhasabah (menginstrospeksi diri) itu ada dua macam, sebelum beramal dan sesudahnya.

Muhasabah sebelum beramal yaitu hendaknya seseorang berhenti sejenak, merenung di saat pertama munculnya keinginan untuk melakukan sesuatu. Tidak bersegera kepadanya sampai benar-benar jelas baginya bahwa melakukannya lebih baik daripada meninggalkannya.

Hasan al-Bashri berkata, "Semoga Allah merahmati seorang hamba yang berpikir di saat pertama ia ingin melakukan sesuatu. Jika itu karena Allah ia lanjutkan dan jika bukan karena-Nya ia menangguhkannya."

Sebagian ulama menjelaskan penuturan al-Hasan ini dengan, 'Apabila diri tergerak untuk melakukan sesuatu, pertama-tama ia harus merenung, apakah amalan itu mampu ia kerjakan atau tidak. Jika tidak ada kemampuan untuk itu hendaknya ia berhenti. Tetapi jika ia mampu, hendaknya ia berpikir, apakah melakukannya lebih baik daripada meninggalkannya, ataukah sebaliknya. 



Jika yang ada adalah kemungkinan kedua, maka ia mesti meninggalkannya. Tetapi jika yang pertama, hendaknya ia bertanya, apakah faktor pendorongnya adalah untuk mendapatkan wajah Allah subhanahu wa ta'ala dan pahalanya, ataukah untuk mendapatkan kehormatan, pujian dan harta benda. Jika jawaban yang kedua yang muncul, hendaknya ia meninggalkannya. Meskipun jika ia melakukannya ia akan mendapatkan apa yang dicarinya. Ini sebagai pelatihan bagi diri agar tidak terbiasa dengan kesyirikan dan supaya takut beramal untuk selain Allah.

Semakin takut seseorang untuk beramal karena selain Allah, semakin ringan baginya untuk beramal karena Allah subhanahu wa ta'ala. Tetapi jika yang muncul adalah jawaban yang pertama, sekali lagi ia harus bertanya, apakah dia mendapatkan bantuan untuk itu? Atau adakah teman-teman yang akan membantu dan menolongnya- jika amalan itu tidak bisa dikerjakan sendirian? Jika tidak ada, ia harus menahan diri sebagaimana Nabi shalallahu alaihi wa sallam telah menahan diri dari memerangi musyrikin Mekah sampai terkumpul kekuatan dan kaum penolong. 



Adapun jika ia dibantu, hendaknya ia maju beramal, dengan izin Allah subhanahu wa ta'ala ia akan mendapat kemenangan. Dan adalah kemenangan itu tidak akan terlepas kecuali jika salah satu dari perkara-perkara di atas terlepas. Sekali lagi, dengan mengadakan hal-hal di atas kemenangan tidak akan terlepas. Itulah empat perkara yang harus dicermati oleh seorang hamba sebelum ia beramal.

Muhasabah sesudah beramal itu ada tiga:


1. Introspeksi diri atas berbagai ketaatan yang telah dilalaikan, yang itu adalah hak Allah subhanahu wa ta'ala. Bahwa ia telah melaksanakannya dengan serampangan, tidak semestinya. Padahal hak Allah subhanahu wata'ala berkaitan dengan satu bentuk ketaatan itu ada enam. Yaitu, ikhlas dan setia kepada Allah subhanahu wa ta'ala di dalamnya, mengikuti Rasulullah shalallahu alaihi wa salam, menyaksikannya dengan persaksian ihsan, menyaksikannya sebagai anugerah Allah subhanahu wa ta'ala baginya, dan menyaksikan kelalaian dirinya di dalam mengamalkannya. Demikian, ia harus melihat apakah dirinya telah memenuhi keseluruhannya?

2. Introspeksi diri atas setiap amalan yang lebih baik ditinggalkan daripada dikerjakan. 


3. Introspeksi diri atas perkara yang mubah, karena apa ia melakukannya. Apakah dalam rangka mengharap Allah subhanahu wa ta'ala dan akhirat, sehingga ia beruntung? Ataukah untuk mengharapkan dunia dan keserbabinasaannya, sehingga ia merugi?

Akhir dari perkara yang dilalaikan, tidak disertai dengan muhasabah, dibiarkan begitu saja, dianggap mudah dan disepelekan adalah kehancuran. Ini adalah keadaan orang-orang yang tertipu. Ia pejamkan matanya dari berbagai akibat kebejatannya sambil berharap Allah subhanahu wa ta'ala mengampuninya. Ia tidak pernah peduli kepada muhasabah dan akibat kejahatannya. Pun jika ia melakukannya, dengan segera ia akan berbuat dosa, menekuninya dan ia akan sangat kesulitan meninggalkannya.

Kesimpulan dari uraian ini, hendaknya seseorang itu mengintrospeksi diri lebih dahulu pada hal-hal yang fardlu. Bila ia melihat ada kekurangan padanya, ia akan melengkapinya dengan qadla' (penggantian) atau ishlah (perbaikan). Lalu kepada hal-hal yang diharamkan. Bila ia merasa pernah melakukannya, ia pun bersegera untuk bertaubat, beristighfar, dan mengamalkan perbuatan-perbuatan baik yang dapat menghapuskan dosa. Kemudian kepada kealpaan. Bila ia mendapati dirinya telah alpa berkenaan dengan tujuan penciptaannya, maka ia segera memperbanyak dzikir dan menghadap Allah subhahanu wa ta'ala. Lalu kepada ucapan-ucapannya, atau kemana saja kakinya pernah berjalan, atau apa saja yang tangannya pernah memegang, atau telinganya pernah mendengar. Apa yang diinginkan dari semua ini? Mengapa ia melakukannya? Untuk siapa? Dan sesuaikah dengan petunjuk?

Sesungguhnya setiap gerakan atau ucapan itu akan dihadapkan pada dua pertanyaan, untuk siapa dikerjakan? dan bagaimana cara pengerjaannya? Pertanyaan pertama tentang ikhlas dan yang kedua tentang mutaba'ah (kesesuaian dengan sunnah)

Allah subhanahu wa ta'ala berfirman,
"Supaya (Allah) memintai pertanggungjawaban orang-orang yang benar tentang kebenaran mereka." (QS Al-Ahzab 8).

Apabila orang-orang yang benar saja dimintai pertanggungjawaban atas kebenarannya, dan dihisab atasnya, lalu bagaimana dengan orang-orang yang dusta?

Faedah Muhasabah

1. Mengetahui aib diri
Barangsiapa tidak mengetahui aib dirinya sendiri, tidak mungkin mampu membuangnya. Yunus bin 'Ubaid berkata, "Aku benar-benar mendapati seratus bentuk kebajikan. Tetapi kulihat, tidak ada satu pun yang ada pada diriku."

Muhammad bin Wasi' berkata, "seandainya dosa-dosa itu mempunyai bau, sungguh tidak ada seorang pun yang sanggup duduk di dekatku."

Imam Ahmad meriwayatkan, Abu Darda' berkata, "Seseorang itu tidak memahami agama ini dengan baik sampai ia membenci orang lain karena Allah subhanahu wa ta'ala, kemudian ia kembali kepada nafsunya dan ia lebih membencinya lagi."

2. Mengetahui hak Allah terhadapnya.

Hal itu akan membuatnya mencela nafsunya sendiri serta membebaskannya dari ujub dan riya'. Juga membukakan pintu ketundukan, penghinaan diri, kepasrahan dihadapan-Nya, dan keputusasaan terhadap dirinya sendiri. Sesungguhnya keselamatan itu hanya dapat dicapai dengan ampunan dari Allah subhanahu wa ta'ala dan rahmat-Nya. Merupakan hak Allah subhanahu wa ta'ala untuk ditaati dan tidak dimaksiati, diingat dan tidak dilupakan, serta disyukuri dan tidak dikafiri.

Diambil dari: Tazkiyah An-Nafs, Konsep Penyucian Jiwa Menurut Para Salaf; Ibnu Qoyyim al-Jauziyah, Ibnu Rajab al-Hambali, Imam Ghazali; Penerbit Pustaka Arafah

Sumber: http://jilbab.or.id

Jabatan adalah amanah

Dari Ma’qal bin Yasar ia berkata, “Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah SAW. bersabda, ’Tidak ada dari seorang hamba yang ALLAH SWT memintanya memimpin sekelompok orang lalu meninggal dalam keadaan berbuat curang kepada mereka, kecuali ALLAH SWT akan mengharamkan baginya surga.”(Riwayat Bukhori dan Muslim)

Akhir-akhir ini jabatan dan kepemimpinan menjadi bahan rebutan. Padahal menjadi pejabat atau pemimpin bukanlah perkara yang mudah. Tanggung jawab yang harus dipikul sangatlah berat. Jika lalai dalam melajankan tugas ancamannya tidaklah ringan.

Hal inilah yang membuat para sahabat selalu berusaha menghindar dari jabatan. Begitu pula dengan para tabiin mereka sangat menjaga jarak dengan kekuasaan. Bukan karena tidak kapabel, tapi lebih disebabkan oleh rasa wara’ dan takut terhadap gemerlap kekuasaan yang kerap melenakan seseorang. Tapi anehnya kita yang hidup di zaman sekarang, dengan tingkat keshalehan yang pas-pasan, sangat bernafsu menjadi pejabat atau penguasa.

Tak ada pemimpin yang ingin celaka. Untuk menghindari hal itu, seorang pemimpin harus selalu belajar pada sejarah pendahulunya yang menuai sukses dalam memimpin. Umar bin khaththab RA salah satu di antaranya. Sejarah kepemimpinan yang kedua ini sangat penting untuk dirujuk.


Salah satu sikap yang paling menonjol dari Umar RA rasa takutnya kepada Allah SWT dalam menjalankan tugas. Ia takut gagal di mata Allah SWT sehingga dicampakkan kelak di dalam neraka. Rasa takut itulah yang membuatnya sangat hati-hati dan sungguh-sungguh dalam memimpin. Ia memimpin nyaris tanpa jam kerja. Pagi siang malam siap melayani rakyatnya. Pada malam hari, Ia kerap berpatroli sekedar untuk memastikan apakah rakyatnya aman dan nyaman. Jika Ia menjumpai orang yang kelaparan, ia akan segera ke baitul mal untuk mengambil gandum dan memikulnya dengan pundaknya sendiri.


Begitulah seharusnya gaya hidup setiap pemimpin. Seorang pemimpin harus selalu memiliki rasa takut kepada Allah SWT. Hanya dengan rasa takut seperti itulah, sebuah kesadaran dan rasa tanggung jawab akan tumbuh. Kesadaran yang akan selalu membuat seseorang senantiasa berhati-hati dan bersungguh-sungguh dalam melajankan tugas. Ia tau dan sadar, kalau amanah yang sedang diembannya merupakan amanah dari Allah SWT. Jika ia lalai, maka Allahlah yang akan menghukumnya. Dan hukuman Allah SWT di akhirat cuma satu, yaitu neraka.

Dengan kesadaran seperti itu, gaya hidup seorang pemimpin akan lebih zuhud. Jabatan tidak lagi akan dijadikannya sebagai sarana untuk memperkaya diri atau mengumpulkan pundi-pundi harta. Jabatan akan dijadikannya sebagai sarana untuk mengabdi kepada Allah SWT.

Tak heran jika kehidupan para pejabat pada zaman khulafa’arrasyidin sangatlah bersahaja. Ketika Abu Bakar jadi khalifah, ia tetap berdagang di pasar. Umar pun demikian. Rumahnya tetap sederhana dan tanpa pengawalan. Di beberapa daerah, ada yang gubernurnya masuk dalam daftar fakir miskin yang berhak mendapatkan bantuan. Seperti yang pernah dialami oleh Sa’ad bin Amir, gubernur Himsha di era pemerintahan Umar bin Khaththab. Adakah pemimpin seperti itu sekarang….?
*Ahmad Rifa’i/Suara Hidayatullah.

Sumber: http://heldi.net
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. MauApaAja - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger